Pada pertengahan 2022 lalu, publik Britania Raya dikejutkan oleh penangkapan remaja berusia 19 tahun. Anak tersebut bernama Luca Benincasa dari Cardiff yang berencana melancarkan serangan teror melalui pengeboman. Ketika diamankan oleh pihak berwajib, Luca sedang meracik bom. Luca juga telah bergerak menjalankan propaganda kebencian kepada kelompok-kelompok minoritas di Inggris melalui platform media sosial.
Tidak hanya itu, polisi juga menemukan gambar-gambar tak senonoh anak di bawah umur yang disimpan oleh Luca di kamar pribadinya. Dampak dari apa yang telah dilakukannya, akhir Januari lalu Luca dijatuhi hukuman penjara selama sembilan tahun tiga bulan. Meski kini Luca telah ditangkap, pihak pemerintah Inggris meyakini bahwa gerakan ekstremis sayap kanan masih bergerak secara membabi buta.
Berdasarkan data dari Counter Terrorism Policing (CTP) UK, unit khusus dalam Kepolisian Inggris yang bertanggung jawab dalam penanganan ancaman terorisme. Potensi teror terbesar di Inggris sejak tahun 2021 muncul dari ekstremisme sayap kanan, bahkan persentasenya mencapai 49%. Mirisnya, pengikut kelompok nasionalis radikal ini bukan hanya berasal dari kalangan pekerja usia 20 hingga 50 tahun saja.
Akan tetapi, telah menjamah anak-anak yang bahkan mengenal kelompok radikal dan beragam aksi teror dari mereka berusia 13 tahun. Mereka tidak pernah berjumpa anggota kelompok radikal secara langsung. Bahkan, mereka mengenal gerakan ini dari media sosial seperti TikTok dan Instagram. Sebagian besar dari mereka terpapar ketika menjalani masa sekolah secara daring yang akhirnya membuat mereka banyak menghabiskan waktu di depan layar.
Anak-anak dan remaja yang menjadi anggota kelompok ekstremis mengaku bahwa mereka tidak pernah mencari konten-konten radikalisme. Konten itu tiba-tiba muncul pada laman rekomendasi. Dari situ mereka mendapatkan lebih banyak konten sejenis yang semakin membuat mereka tertarik dan akhirnya terperangkap dalam jebakan ideologi ekstrem yang ditawarkan.
Selain Luca yang telah terpapar radikalisme melalui platform online. Pada 2021, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dari Cornwall dihukum setelah memimpin Feuerkrieg Division cabang Inggris (sejenis kelompok radikal sayap kanan dari Jerman). Dia bahkan mengunduh manual pembuatan bom pertamanya saat berusia 13 tahun, sehingga menjadikannya salah satu pelaku teror termuda di Inggris.
Det Supt Rees, perwakilan dari pihak kepolisian Inggris, mengatakan bahwa kelompok ekstremis menggunakan ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi untuk ”mendorong narasi” teori konspirasi agar mereka dapat secara efektif mempengaruhi anak-anak muda. Lebih lanjut ia mengatakan, ”Bagaimana radikalisasi terhadap generasi muda ini terjadi?”
Det Supt Rees memberikan contoh, ketika pandemi Covid-19 terjadi, situasi yang ada memaksa orang-orang menjadi lebih terisolasi. Anak-anak yang tidak memiliki hubungan keluarga/sahabat yang erat atau tidak memiliki passion untuk dijalani. Apakah itu olahraga, rekreasi, sosial, hal lainnya akhirnya menghabiskan waktu berjam-jam dengan ponsel mereka.
Ketika berhadapan dengan media sosial, mereka kemudian hanya pasif menerima algoritma perusahaan media. Dan, ketika itulah gerakan sayap kanan menangkap peluang tersebut. Mereka membombardir pengikutnya dengan berbagai propaganda sesat untuk menjaring anggota baru, utamanya anak-anak muda.
Dr Nouri, seorang dosen senior di bidang kriminologi di Universitas Swansea, menambahkan bahwa faktor lain. Diantaranya anak muda terperangkap dalam kelompok sayap kanan adalah kebingungan dan kurangnya informasi seputar Covid-19. Tidak adanya informasi dan data akurat dari pemerintah, utamanya edukasi dari orangtua. Akhirnya menjadi bahan bakar bagi kelompok radikal untuk mencampurkan berita palsu terkait Covid-19 dengan kampanye kebencian terhadap warga keturunan Asia.
Biasanya kelompok ekstremis menggaungkan bahwa dunia sedang dalam kekacauan, Inggris dalam krisis berat. Setelah itu mereka mengatakan bahwa sumber problem ini adalah keinginan orang-orang China untuk menguasai dunia dengan cara menyebarkan virus. Dan virus pembunuh masal ini tidak hanya beredar di Asia saja, tapi juga menjajah Eropa melalui warga peranakan di sana.
Narasi-narasi tersebut digaungkan kelompok sayap kanan dengan memanfaatkan krisis biaya hidup dan kesulitan finansial yang dihadapi orang-orang pada saat pandemi. Beberapa komunitas lebih rentan, terutama mereka yang merasa kecewa. Baik itu karena tekanan keuangan, kurangnya lapangan pekerjaan, ketika mendengarkan narasi itu lalu merasa tercerahkan.
Mereka seperti mendapatkan ‘jawaban’ yang mereka selama ini cari. Kerentanan tadi akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis radikal untuk secara terus menerus memobombardir narasi kebencian yang akhirnya membuat jaringan ekstremis di Inggris kini semakin diminati banyak orang, terutama generasi muda.