Fundamentalisme Islam di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan memiliki sejarah panjang yang kaya dalam hal pengembangan dan penyebaran Islam. Meruntut sejarahnya, Islam pertama kali tiba di Indonesia pada abad ke-13 melalui para pedagang Muslim dari India dan Arab yang datang ke kepulauan Nusantara untuk berdagang. Seiring waktu, pengaruh Islam semakin berkembang di sini melalui perdagangan dan perkawinan antara pedagang Muslim dan penduduk lokal.
Puncaknya, pada abad ke-16, kekuasaan Kesultanan Demak di Jawa Tengah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Indonesia. Selanjutnya, kesultanan-kesultanan di seluruh wilayah Indonesia termasuk Aceh, Sumatra, dan Sulawesi, memainkan peran penting dalam pengembangan dan penyebaran Islam. Seiring dengan itu, banyak ulama dan para tokoh Islam lainnya tiba di Indonesia dan memberikan pengaruh besar pada agama dan budaya lokal.
Berbeda dengan wilayah lain yang didahului konflik dan perang, penyebaran Islam oleh para saudagar lebih mengedepankan pada dialog terbuka dan pertukaran nilai-nilai budaya. Oleh karenanya, Islam kemudian lebih mudah diterima oleh penduduk lokal setempat. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan dalam jumlah kelompok dan individu yang menganut pandangan fundamentalis Islam.
Fenomena ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kontroversi di kalangan masyarakat serta menyebabkan ketegangan di antara kelompok-kelompok agama dan etnis yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk memahami akar dari fenomena fundamentalisme Islam di Indonesia dan faktor-faktor apa yang telah memperkuat dan memperluas pandangan-pandangan ini.
Jika dilihat secara umum, fundamentalisme Islam di Indonesia adalah gerakan reformis dalam bidang teologi yang menolak paham tertentu (madzhab) dan sangat mendorong penerapan syariah atau hukum Ilahi daripada hukum buatan manusia. Akar gerakan fundamentalisme di Indonesia dapat ditemukan pada Gerakan Padri di Minangkabau. Gerakan Padri memiliki beberapa kesamaan dengan ajaran Wahabi, di mana mereka menentang bid’ah (inovasi agama yang dianggap tidak benar) dan khurafat (keyakinan yang salah).
Mereka juga melarang penggunaan tembakau dan pakaian sutra. Selain Gerakan Padri, Persis (Persatuan Islam) dianggap sebagai gerakan paling puritan di kalangan umat Islam Indonesia, menurut Antropolog Belanda, Van Bruinessen. Di samping kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat juga suatu kelompok yang dianggap sebagai gerakan fundamentalisme Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad.
Selain ingin menegakkan Islam sesuai dengan tradisi zaman dahulu, fundamentalis Islam sangat ketat mengatur pergerakan perempuan. Perempuan diharuskan mempraktikkan aturan yang lebih ketat, seperti dalam berjilbab (menggunakan hijab atau niqab), melakukan khitanan perempuan. Terkadang beberapa di antara mereka memperbolehkan pembunuhan perempuan/anak perempuan dengan dalih melindungi agama dan kehormatan. Meskipun demikian, banyak perempuan Muslim yang mendukung dan mengidentifikasi diri dengan gerakan sosial dan politik Islam fundamentalis. Walau mereka memahami bahwa mereka ada lebih banyak aturan hukum yang wajib mereka patuhi.
Dukungan Perempuan dalam Fundamentalisme Islam
Sejatinya memahami akar mengapa perempuan turut mendukung gerakan fundamentalisme Islam, tidaklah mudah. Banyak faktor yang saling berkelindan turut berkontribusi dan kasusnya kerap kali tidak sama antara satu individu dengan individu lain. Namun, bila dilihat secara umum, para perempuan yang mendukung gerakan fundamentalisme Islam sama-sama melihat bahwa modernitas dan globalisasi merupakan ancaman nyata bagi umat Islam.
Mereka percaya bahwa moralitas umat dipertaruhkan dengan aktualisasi diri para individu yang kerap menuntut kebebasan. Jika dikaitkan lebih spesifik dengan konteks perempuan, gaya hidup modern justru tidak memberikan ruang bagi mereka untuk menggapai label ‘sholehah’. Sebab, stigma perempuan yang sholehah dan baik di mata mereka justru perempuan yang sehari-harinya mengabdikan diri pada istri dan rumah tangga.
Berperan di lingkungan sosial justru dapat menimbulkan ‘bahaya’ karena mereka menganggap diri mereka bagaikan permata yang harus lebih banyak di dalam rumah agar tidak ‘tercemar’ oleh efek negatif lingkungan luar. Di sisi lain, ada juga perempuan berkarier yang mendukung fundamentalisme. Perspektif mereka sejatinya sama, namun bedanya mereka melihat kesalihan perempuan tidak sebatas pada urusan domestik semata, tetapi bagaimana mereka dapat mempertahankan image baik di depan komunitas, juga keluarga terdekat. Bagi perempuan bekerja yang mendukung fundamentalisme, mereka memiliki banyak privilege untuk membereskan urusan domestik: bisa mendapatkan bantuan dari asisten rumah tangga hingga kemudahan teknologi.
Belum lagi jika mereka bisa bekerja dari rumah, hal itu semua, membuat mereka mendukung tradisi lama agar dipertahankan karena mereka melihatnya sebagai cara untuk mempertahakan kuasa dan elitisme dari gempuran globalisasi (Blaydes and Linzer, 2008). Dengan demikian, dukungan fundamentalisme Islam dari perempuan tidaklah semata-mata karena status ekonomi, tapi perlu dilihat pula bagaimana perempuan mengaktualisasikan diri mereka sebagai perempuan ‘shalihah’. Sebab, mungkin dengan cara seperti itu lah, mereka jauh lebih dihargai oleh orang-orang di sekitarnya.