26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Bagaimana Pergeseran Peran Perempuan dalam Agenda Ektremisme?

Tipologi Keterlibatan Perempuan dalam Organisasi Ekstremisme
Ada beberapa alasan mengapa perempuan semakin gencar terlibat dalam aksi terorisme. Pertama, mereka dianggap mampu untuk menjadi pengabdi yang patuh serta loyal. Kedua, mereka rentan untuk percaya serta patuh terhadap nuansa yang berbalut ajaran agama. Dan perempuan memiliki jalan yang lebih mudah terhadap sosial media namun sangat minim literasi. Keterlibatan wanita juga dianggap sebagai suatu cara yang mudah untuk mengelabuhi aparat penegak hukum.

Dalam catatan IPAC menyebutkan bahwa perempuan pertama di Indonesia yang divonis terlibat aktif dalam aksi terorisme adalah Dian Yuliana Novi, ia adalah seorang mantan pekerja migran yang terradikalisasi secara online. Aksi teror dengan menjadi martir bom bunuh diri membuat dirinya ditangkap pada Desember 2016 dan dijatuhi vonis 7,5 tahun penjara. Pekerja migran memiliki kerentanan untuk terlibat dalam aksi terorisme. Hal ini karena ektremis laki-laki melihat peluang ini sebagai sumber income penyumbang dana bagi kelompok teror.

Terlebih dengan kemampuan pekerja migran akan hal komunikasi bahasa asing yang baik, penggalangan dana, donatur dalam kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Semenjak setelah itu, kasus-kasus terorisme perempuan semakin bermuncuan dalam aksi pengeboman bahkan menjadi pengantin bom bunuh diri. Sebut saja kasus Bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13-14 Mei 2018 lalu, martir bom bunuh diri dalam aksi tersebut adalah para perempuan dan anak-anak yang masih di bawah umur.

Peran Perempuan Secara Umum dalam Jaringan Terorisme
Perempuan memiliki peran sebagai pendukung tidak langsung, yang mana artinya mereka merupakan bagian dari suatu kelompok teroris namun mereka tidak terlihat langsung dalam aksi teror yang terjadi. Dukungan tersebut bisa dari segi materi maupun sikap sosial atau dikenal dengan simpatisan. Selain sebagai pendukung tidak langsung, perempuan juga berpotensi sebagai pendukung secara langsung. Artinya mereka ikut secara langsung dan menjadi bagian dari aksi teror, bisa juga dengan membantu dalam penyediaan logistik, menjadi perantara penerimaan uang atau dana, dan bertugas sebagai perekrut.

Rosmawati, seorang perempuan asal Poso-Sulawesi Tengah salah satunya. Istri dari Hasan Zahabi ini dijatuhi pidana selama 3 tahun penjara dan denda sebesar 50 juta rupiah setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat akibat keterlibatannya dalam tindak pidana pendanaan terorisme dengan menggunakan rekening miliknya untuk transaksi keuangan kelompok Santoso.

Anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang berasal dari Palu dan beberapa daerah lainnya mengirimkan sejumlah dana ke rekening milik Rosmawati. Yang kemudian dana tersebut digunakan untuk membeli sejumlah logistik dan obat-obatan. Ia juga mengatur pengiriman logistik tersebut ke kaki gunung di tempat penjemputan kelompok pimpinan Santoso.

Pendanaan sangatlah penting dan menjadi cikal bakal adanya tindakan terorisme, sebab produk propaganda memerlukan biaya yang cukup besar bagi pergerakan (mobilitas), alat (tools) yang digunakan serta kemudahan yang dijalankan pelaku dalam melintas batas negara (transnasional) tentu tidak dapat dibeli dengan harga murah.

Lain lagi dengan sosok Arina Rahma, istri ketiga Noordin M. Top ini tercium oleh Densus 88. Hal ini disebabkan telah membantu kelompok Fakta Palembang dengan menyuplai bahan peledak dan senjata api berikut amunisinya. Peran selanjutnya yaitu sebagai pelaku utama, artinya perempuan menjadi aktor utama atau dalang dari aksi teror yang dilancarkan. Sehingga peran ini sangat vital karena mereka mempertaruhkan nyawa mereka sendiri seperti bom bunuh diri.

Kemudian peran sebagai pemimpin kelompok. Artinya, perempuan harus memiliki karisma dan pengaruh besar untuk menggerakkan orang-orang atau kelompok dalam menjalankan visi dan misi dalam kelompok terorisme tersebut. Meski perempuan dianggap rentan terpapar radikalisme. Namun, disatu sisi perempuan memiliki peran penting untuk mencegah kegiatan yang bersifat radikalisme.

Perempuan sejatinya mempunyai peran besar dalam menangkal radikal terorisme di dalam keluarga maupun masyarakat bahkan berpotensi menjadi woman human right defender (perempuan pegiat perdamaian). Menurut, Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT, Zaim mengatakan, bahwa pengarusutamaan gender dan perlindungan anak memang menjadi salah satu strategi dalam RAN PE yang diadopsi menjadi RAD PE.

Kaum perempuan bersama dengan elemen masyarakat sipil lainnya didorong untuk terlibat aktif dalam penanggulangan masalah terorisme terutama sebagai penggerak di komunitas. Dengan demikian, keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian harus terus diupayakan dan diikutsertakan dalam setiap agenda, agar upaya pencegahan dan penanganan ekstremisme berbasis kekerasan dapat terwujud secara nyata.

TERBARU

Konten Terkait