Joko Tri Harmanto adalah seorang laki-laki berusia 45 tahun, kerap disapa Bang Jack yang saat ini sedang menekuni bisnis soto. Diketahui latar belakangnya adalah dia seorang mantan narapidana teroris (Napiter) yang dipenjara selama 4,5 tahun karena terlibat kasus bom Bali I pada tahun 2002 silam. Pada saat itu, ia berperan sebagai orang yang menyembunyikan informasi dan barang bukti terkait kasus bom tersebut dan keluar pada tahun 2008. Berdasarkan pengakuannya, ia terlibat dalam serangkaian pengeboman di Bali yang bermula menjadi relawan dalam kerusuhan Ambon tahun 1999.
Lika-liku perjalanan ketika terlibat dalam kelompok teroris cukup panjang. Baginya, bergabung dalam kelompok teroris adalah wujud empati sebagai umat Muslim lainnya. Joko sedang membela hak dan kepentingan umat Muslim. Di mana mereka mengalami segala bentuk penindasan dari kelompok agama lain. hal itu dicontohkan dengan kepedihan yang dialami oleh masyarakat Palestina, Afghanistan, dll.
Pasca dipenjara dan pilihan untuk menekuni bisnis merupakan suatu pilihan yang menempuh perjalanan cukup panjang. Sebab ujian ekonomi menjadi salah satu ujian terberat baginya untuk bertahan hidup. Selain ekonomi, pengucilan dan pengasingan yang dilakukan oleh masyarakat kepada mantan napiter, membuat mereka merasa tidak nyaman untuk menjalani kehidupan sebagai orang normal. Tidak heran, banyak mantan napiter yang kembali masuk dalam jaringan terorisme dikarenakan iming-iming kehidupan yang layak pasca dipenjara menjadi napiter.
Pengalaman tersebut dialami oleh Joko. Pada mulanya ia bekerja di restoran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah beberapa lama, memiliki tetangga yang pernah berjualan soto, akhirnya ia memutuskan untuk membuka warung soto. Kisah Joko adalah salah satu dari sekian banyak mantan napiter yang hijrah pasca berada dalam lingkaran setan teroris. Keberhasilan hijrah tersebut dipengaruhi oleh pendampingan yang dilakukan kepada para mantan napiter untuk menempuh kehidupan yang lebih baik.
Pentingnya Pendampingan bagi Eks-Napiter
Pendampingan kepada eks napiter sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan semangat optimis untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Proses deradikalisasi yang dilakukan seharusnya mampu menjawab kebutuhan para eks napiter. Pasca dipenjara, mereka mengalami fase yang dilematis. Di satu sisi, ideologi teror yang terdapat dalam dirinya menjadi salah satu indikator kekhawatiran untuk bergabung kembali dengan organisasi teroris.
Meskipun demikian, seperti dilansir dari hasil kongres PBB 8 dalam dokumen menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang bergabung dalam kelompok teroris, di antaranya: kemiskinan, pengangguran, buta huruf, dan akses yang layak untuk mendapat kehidupan yang cukup baik.
Melihat faktor tersebut, upaya yang dilakukan untuk memberantas terorisme perlu dilakukan dengan melihat akar permasalahan yang ada. Kendala yang dimiliki oleh para eks napiter untuk menggeluti usaha adalah kecanggungan mereka dalam mengurus legalitas usaha. Kecanggungan tersebut dikarenakan beberapa, di antaranya: Pertama, ketidaktahuan prosedur dan cara dalam pengurusan legalitas. Kedua, rasa bersalah terhadap negara/pemerintah atas tindakan masalalu yang telah merepotkan negara.
Pendampingan yang dilakukan kepada eks napiter, perlu untuk diberdayakan secara ekonomi. Mereka harus berdaya secara ekonomi untuk menjalani kehidupan yang layak sebagai manusia pada umumnya. Dengan demikian, keterlibatan semua elemen dalam melakukan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan eks napiter, sangat penting untuk dilakukan. Kondisi ini dikisahkan oleh oleh Badawi alias Rizal alias Harits yang pernah terlibat dalam kelompok Gerakan Jamaah Islamiyah.
Pengalaman hidupnya yang bergabung dalam kelompok teroris diawali dari kondisi maraknya kristenisasi di wilayah pantura Jawa Tengah pada tahun 1980-an. Kondisi ini membuat ia resah, kemudian bergabung dalam gerakan-gerakan pengajian dan membentuk kelompok untuk mendalami ilmu agama. Pada kejadian bom Bali 1, ia bersama rekan-rekannya bisa bertemu anggota Jamaah Islamiyah yang lain, yang mendukung terhadap pemikiran dan gerakan yang sudah dirancang untuk merubah kondisi kristenisasi yang sedang marak.
Menurut Badawi, menjadi eks napiter membutuhkan pendampingan dari berbagai pendekatan, utamanya pemberdayaan ekonomi sehingga para eks napiter tidak terjun ke dalam pengalaman yang sama dikarenakan faktor ekonomi. Selain pemberdayaan ekonomi, pendekatan dengan simpati dan empati harus menjadi utama dalam melihat eks napiter. Ketiadaan ruang bagi mereka untuk hidup sebagaimana manusia utuh, menjadi salah satu faktor mereka tidak nyaman pasca dipenjara. Pendampingan kepada para eks napiter menggunakan berbagai pendekatan, sangat penting untuk terus diupayakan. Tentu, harus melihat faktor yang mempengaruhi seseorang bergabung dalam kelompok teror.