Problem Radikalisme di Pakistan
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang radikalisme di Pakistan masih saja menjadi persoalan besar dan terus menerus memakan korban. Bahkan, tren dan polanya semakin kompleks. Hal ini lantas membuat pihak keamanan semakin kesulitan untuk membongkar gerakan politik yang terus berpotensi menimbulkan kekacauan tersebut.
Fenomena radikalisme di Pakistan dapat dilihat dari berbagai perspektif. Namun, dapat dijelaskan secara umum sebagai penyebaran dan penerimaan ideologi radikal yang didasarkan pada penafsiran ekstremis dari agama Islam. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran radikalisme di Pakistan. Antara lain, ketidakpuasan terhadap pemerintah dan sistem politik, kegagalan negara dalam memberikan keadilan sosial, ekonomi dan politik kepada rakyatnya. Hingga, pengaruh kelompok-kelompok ekstremis yang aktif di wilayah tersebut.

Fenomena radikalisme di Pakistan juga terkait dengan sejarah dan dinamika politik di wilayah tersebut. Sejak dibentuknya negara Pakistan pada tahun 1947, terdapat konflik antara kelompok-kelompok yang ingin menjadikan negara tersebut sebagai negara Islam yang konservatif Kelompok-kelompok yang ingin menjadikan negara tersebut sebagai negara sekular dan modern.
Konflik ini terus berlanjut hingga saat ini, dan telah memunculkan berbagai gerakan dan kelompok yang mempromosikan ideologi radikal, seperti Taliban Pakistan dan Al-Qaida. Selain itu, faktor eksternal juga berpengaruh dalam penyebaran radikalisme di Pakistan. Beberapa kelompok militan di wilayah tersebut memiliki hubungan dengan kelompok militan di negara-negara tetangga, seperti Afghanistan dan India.
Konflik-konflik yang terjadi di wilayah tersebut, terutama konflik di Afghanistan, juga dapat mempengaruhi penyebaran radikalisme di Pakistan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, berdasarkan penelitian dari Ahmad (2014), bibit ekstremisme di Pakistan tidak hanya tumbuh karena kesenjangan sosial ekonomi dan pengaruh penafsiran radikal di lingkungan agamis. Hal tersebut terjadi di Madrasah, di lingkungan sekuler, seperti kampus di mana harapannya nilai-nilai netral lebih dominan. Namun, kelompok radikal bisa menemukan celah dan kemudian secara berjejaring mampu merekrut sejumlah pemuda yang pandai untuk bergabung dalam gerakan politik mereka.
Lebih lanjut, seringkali individu yang bergabung dengan kelompok radikal tidak memiliki pengetahuan memadai mengenai efek negatif globalisme terhadap moralitas atau bagaimana Invasi Amerika telah memporakporandakan negara-negara mayoritas Muslim, tapi mereka memperoleh kenyamanan dan aktualisasi diri dari kegiatan kolektif kelompok radikal yang mereka ikuti.
Jaringan Sosial dan Perekrutan Anak Muda dalam Gerakan Radikal
Hampir sama dengan perekrutan komunitas sosial secara umum, perekrutan anak-anak muda di lingkungan kampus mengandalkan komunikasi interpersonal para anggota yang jauh lebih senior. Biasanya mereka mendekati junior atau kawan dekatnya yang dirasa dapat diyakinkan dan dipengaruhi secara perlahan. Pendekatan ini dirasa lebih mudah karena strategi sejenis tidak menimbulkan kecurigaan tertentu. Kedekatan sebagai kolega atau teman juga memiliki pengaruh tersendiri ketika propaganda radikalisme disampaikan.
Mereka di awal mungkin sukar percaya, namun karena yang menyampaikan adalah teman atau orang yang memiliki kedekatan personal. Kekhawatiran tersebut akan sulit diungkapkan. Dan, biasanya mereka jauh lebih mudah percaya akan data-data yang diungkapkan, meski hal tersebut disampaikan hanya untuk memenuhi kepentingan gerakan. Secara rincinya untuk kasus perekrutan kelompok radikal Islami Jamiat Talba/IJT. Mereka yang diminta untuk merekrut anggota baru biasanya akan secara santai mengundang teman atau saudara mereka untuk menghadiri pertemuan organisasi.
Undangan ini umumnya diberikan dalam konteks interaksi sosial yang biasa. Misalnya, teman sekelas di perguruan tinggi saat istirahat meminta target individu untuk menemaninya ke pertemuan IJT. Atau seorang kenalan yang sedang berjalan-jalan sore dengan target perekrutan memberitahunya tentang unjuk rasa IJT yang akan datang terkait protes tentang kebijakan Amerika Serikat dan mengundangnya untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Atau seorang teman, ketika pulang dari gym dengan informan, memintanya untuk singgah sebentar di kantor IJT untuk menghadiri acara kajian Alquran.
Konteks-konteks situasi yang amat lumrah tadi biasanya menjadi pintu gerbang rekrutmen anggota baru kelompok radikal. Usaha rekrutmen yang dilakukan juga awalnya tidak mengandung unsur paksaan. Seringkali, perekrut sebagai teman hanya ‘sekadar’ minta tolong untuk menemani karena ia harus datang sendiri. Dengan kondisi tadi, individu yang menjadi target perekrutan biasanya mengiyakan dikarenakan niatan menolong atau sekadar solidaritas teman/saudara.
Dalam kasus lain, seorang teman dekat membawa individu yang akan direkrut untuk kemudian bertemu dengan aktivis IJT lainnya dalam rangka membahas masalah terkait studi. Selama ngobrol keduanya mengundang informan untuk datang ke pertemuan IJT minggu depan. Jadi, para perekrut tidak sebatas memanfaatkan hubungan personal semata. Tapi juga mengetahui kondisi dimana ‘calon’ anggota harus sedang santai atau dalam kondisi sendiri yang membuat ia secara tidak sengaja menuruti keinginan anggota senior gerakan radikal.
Melalui pendekatan personal dan situasional yang cermat, kelompok radikal seperti IJT di Pakistan telah berhasil merekrut anggota baru dengan mengambil keuntungan dari hubungan sosial dan situasi yang ada. Dari apa yang terjadi di Pakistan, penting kiranya bagi pihak kampus di Indonesia untuk terus memantau dan mengambil tindakan untuk mencegah penyebaran ideologi radikal melalui berbagai cara termasuk pendekatan personal dan situasional yang digunakan oleh kelompok-kelompok ekstremisme, karena sama seperti virus, bibit dan ideologi radikalisme juga terus menyebar, tidak hanya di satu wilayah semata, tapi bisa lintas negara.