31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Sebuah Otokritik terhadap Fenomena Radikalisme Agama

Judul buku : Buat Apa Beragama
Penulis : Abdillah Toha
Penerbit : Mizan
Tahun terbit : 2020
ISBN : 978-602-441-194-7

Pernahkah kita mempertanyakan cara beragama yang sudah diterapkan dalam kehidupan. Apakah kita cukup terganggu dengan seorang teman yang tidak menggunakan jilbab saat bersama kita? Atau merasa risih ketika memiliki teman yang berbeda agama? Atau jangan-jangan dalam diri terbesit rasa ingin menghabisi orang-orang yang berbeda agama dengan kita? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini barangkali tidak ada dalam benak.

Namun, apakah pertanyaan ini tidak ada dalam benar semua orang? Bisa saja, pertanyaan sederhana justru terbesit dalam diri ketika berefleksi tentang keberagamaan yang sedang kita jalani.
Mengajukan pertanyaan semacam ini sangat penting untuk kita lakukan agar mampu menelaah lebih dalam, bagaimana kehidupan beragama yang sedang kita jalani. Inilah kemudian yang juga menjadi refleksi kritis Abdillah Toha dalam melihat realitas keberagamaan yang sedang kita jalani.

Abdillah mengajukan beberapa pertanyaan dalam beberapa hal, di antaranya: Apakah cara kita beragama sudah sesuai dengan tujuan agama? Bagaimana orang luar melihat Islam masa kini? Bolehkah kita memvonis umat munafik muslim sesat, kafir dan stigma negatif lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan oleh Abdillah Toha ini adalah sebuah refleksi kritis bagi para pembaca sebagai umat beragama dalam melihat agama yang diyakininya sebagai pedoman kehidupan.

Melalui buku ini, tulisan yang berupa esai-esai reflektif keberagaman akan menjadikan pembaca semakin merenungi esensi beragama yang selama ini masih timpang di masyarakat. Tentu, berkenaan dengan persoalan perbedaan, baru-baru ini kita diingatkan pada sebuah momentum hari raya yang berbeda antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Perbedaan ini sebenarnya hal yang lumrah terjadi pada masyarakat Indonesia. Namun karena disebabkan perdebatan di media sosial antar netizen, menciptakan keretakan dan berbagai komentar negatif dari antar kubu, khususnya Muhammadiyah dan NU.

Seperti yang kita ketahui bahwa, kedua organisasi adalah potret kekayaan Islam Indonesia yang menampilkan wajah Islam dan kebangsaan yang saling menyelaraskan satu sama lain dan merupakan organisasi besar di Indonesia. apabila dalam realitas perbedaan tersebut menciptakan keretakan, bahkan permusuhan antar lainnya, inilah yang dikritik oleh Abdillah Toha. Perbedaan tercipta tidak untuk saling mengunggulkan diri daripada yang lain. Tidak juga untuk merasa paling benar di antara yang lain. Akan tetapi agar mampu bersama-sama menampilkan wajah Islam yang ramah dan tidak untuk menakutkan orang lain.

Dalam buku ini terdapat lima pembahasan, di antaranya: Pertama, agama untuk siapa. Kedua, mengungkapkan makna. Ketiga, kejiwaan dan spiritualitas. Keempat, isu-isu keumatan. Kelima, agama dan kekuasaan. Esai-esai yang syarat dan kaya akan makna tersebut menjadi khazanah keilmuan bagi para pembaca untuk melihat realitas keberagamaan yang kompleks. Seringkali kita melihat wajah agama yang marah, bahkan berujung kekerasan.

Agama menjadi identitas diri yang harus dibela mati-matian demi keselamatan diri dan kelompok. Ia tidak lagi menjadi sumber kedamaian dan ketenangan batin, tetapi telah menjelma menjadi sumber konflik dan perpecahan (Hal-36). Inilah yang kemudian menjadikan wajah Islam sebagai wajah teroris. Sebab di beberapa kelompok, menampilkan Islam yang menghalalkan membunuh dengan cara-cara yang keji. Disinilah letak kesalahpahaman memaknai Islam yang tidak benar.

Teks jihad dimaknai sebuah anjuran bahkan perintah yang membuat manusia lainnya berambisi untuk menghabisi orang non-muslim hanya untuk mendapatkan surga. Yang terlihat dalam fenomena ini adalah agama hanya sebagai frame semata tanpa menyentuh substansi. Kita berlomba-lomba untuk terlihat paling Islam, tanpa melihat konteks masyarakat sekitar. Abdillah Toha dalam buku ini berulangkali menyebut tentang persoalan krusial yang terjadi dalam kehidupan beragama kita saat ini. mulai dari radikalisme, fanatisme hingga perilaku keberagamaan yang sangat destruktif.

Semua fenomena tersebut ditulis dengan argument objektif, reflektif tanpa berbelit dengan berbagai teori yang memabukkan para pembaca. Buku ini adalah sebuah karya yang cukup mewakili dalam melihat realitas keberagamaan pada kehidupan masyarakat modern. Kita sebagai pembaca disuguhi renungan kemanusiaan sebagai evaluasi sikap keberagamaan yang kita tampilkan. Melalui buku ini, pembaca memahami bahwa, menjadi Muslim adalah sikap zahir sedangkan mukmin adalah batin. Keduanya berkesinambungan satu sama lain, seperti hubungan manusia yang tidak hanya vertikal (kepada Allah) akan tetapi juga horizontal dengan sesama manusia.

TERBARU

Konten Terkait