29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Membongkar Fenomena Anti Asia di Eropa

Laporan terbaru dari European Network Against Racism (ENAR) menunjukkan bahwa orang Asia adalah salah satu kelompok ras yang terdampak dalam skala besar oleh pandemi Covid-19 di Eropa. Tidak hanya berhubungan dengan aspek kesehatan, banyak dari keturunan Asia di sana menghadapi sentimen kebencian karena dianggap pembawa virus. Hal ini menyebabkan mereka harus mengalami problem bertubi-tubi. Mulai dari dibokiot usahanya, mendapatkan makian/cemoohan secara random dan sebagainya.

Di Belanda, secara rinci laporan tersebut menunjukkan bahwa orang Asia juga mengalami diskriminasi saat akan mengakses pelayanan publik. Salah satunya, penolakan akses ketika akan mengajukan aplikasi sistem kesehatan, kurangnya perlindungan di tempat kerja selama masa pandemi, dan sikap tidak ramah ketika berhadapan langsung dengan orang-orang lokal.

Di negara lainnya, Italia, seorang perempuan keturunan Asia-Amerika melaporkan bahwa sekalipun wabah sudah melandai dan keadaan sudah mulai normal. Sentimen negatif terhadap individu keturunan Asia masih lekat di sana. Ia sendiri beberapa kali berhadapan dengan warga lokal yang terus memandangnya dengan perasaan jijik. Seperti ia sedang berjalan dengan membawa bom waktu.

Di lain waktu, ketika sedang memesan makanan di sebuah restauran, ia terus menerus mendengar ocehan gosip segerombolan perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya dan berulang kali mengatakan Cinese (orang China dalam Bahasa Italia) serta virus Covid-19. Diperlakukan seperti itu tentu membuatnya gusar. Namun, di saat yang sama ketika ia melaporkan ke pihak berwajib, mereka menanggapi laporannya dengan enteng dan menganggap hal itu sebagai gaya bercanda. Jadi, ia tak perlu menganggapnya dengan serius.

Sebelas dua belas dengan apa yang terjadi di Belanda dan Italia, kejadian sejenis juga terjadi di Jerman. Kali ini kasusnya berujung pemukulan terhadap korban. Menurut laporan pihak berwajib, seorang mahasiswa Korea bernama Yonhap yang sedang belajar di Jerman tiba-tiba diserang oleh dua orang ketika siang hari di akhir tahun 2022. Sebelum melakukan kontak fisik terhadap korban, kedua orang pelaku sempat melontarkan kata-kata rasis kepada pria yang berusia 29 tahun tersebut saat ia sedang berjalan-jalan dengan anjing di daerah pemukiman di Duisburg, Jerman, pada tanggal 24 Desember.

Dengan penuh kebencian, dua warga lokal radikal tadi mendekati korban dan mencemooh keras-keras, “dasar Cina yang menjijikkan!”. Tak hanya itu, detik berikutnya mereka mengancam akan membunuh setiap orang China. Gelombang kebencian yang mendadak tersebut tentu mengagetkan korban, tak sanggup bereaksi, badannya membeku dan tak lama kemudian ia pingsan karena dipukul pelaku dengan amat kencang.
Usai korban tak sadarkan diri, pelaku kemudian segera berlari dan kabur. Meski tak lama kemudian polisi datang. Namun, sikap polisi setempat memperlihatkan bahwa mereka tak serius dalam menanggapi kejadian ini. Hingga berita penyerangan mahasiswa asing ini tersebar luas, pelaku sampai sekarang belum ditangkap.

Akar Rasisme
Maraknya sikap rasis terhadap orang Asia memang kian memuncak setelah COVID-19 dan asal usulnya yang diduga berasal dari kota Wuhan di China. Namun prasangka buruk terhadap orang Asia sejatinya telah lama mengakar di Eropa, termasuk di Jerman. Di bawah rezim Nazi waktu itu, orang Cina yang tinggal di Jerman diusir atau dideportasi ke kamp konsentrasi dan kerja paksa. Tetapi rasisme anti-Asia yang paling luas terjadi dalam satu dekade setelah reunifikasi Jerman.

Sasaran utamanya adalah para migran dari Vietnam yang awalnya datang ke Jerman Timur sebagai bagian dari program untuk membawa pekerja dari rezim komunis lain. Hampir 60.000 pekerja kontrak dari negara Asia Tenggara tersebut tinggal di Jerman Timur ketika Tembok Berlin jatuh pada tahun 1989. Dua tahun kemudian, kelompok neo-Nazi menyerang pedagang Vietnam di Hoyerswerda di Saxony. Mereka membentuk kerumunan di luar tempat perlindungan pengungsi dan melemparkan makian pada para penghuni rumah.

Kerusuhan anti-imigran yang lebih buruk juga terjadi di Rostock-Lichtenhagen pada tahun 1992, ketika sekitar 2.000 ekstremis sayap kanan menyerang dan melempari bom rumah susun yang dihuni oleh pekerja kontrak Vietnam. Ribuan penonton dilaporkan memberi tepuk tangan pada para ekstremis, sementara polisi tidak melakukan banyak tindakan untuk menghentikan serangan-serangan tersebut.

Di samping sejarah kebencian Asia yang mengakar, kesuksesan bisnis para imigran Asia di Eropa juga memicu kecemburuan sosial yang membuat warga lokal melihat mereka sebagai pesaing berat. Terlebih, ketika problem pemutusan kerja sepihak melanda banyak negara di sana usai pandemi menerjang. Warga yang depresi kemudian mencari ‘kambing hitam’ untuk disalahkan. Mereka melihat bahwa warga keturunan Asia yang patut dijadikan tersangka atas pandemi yang berlarut-larut.

TERBARU

Konten Terkait