Salah satu praktek baik pernah dilakukan oleh AMAN (Asian Muslim Action Network) Indonesia dalam memberikan pengarahan dan pelatihan kepada mantan napiter perempuan. Dari praktik baik tersebut, dapat menampilkan sikap istri kepada suaminya, yang juga mantan napiter. Meskipun ketika melakukan pelatihan ini sangat sulit, karena panitia harus menyediakan ruang bermain bagi anak-anak dari perempuan mantan napiter tersebut. Akan tetapi, justru membawa insight baru dalam memahami persoalan keterlibatan perempuan dalam terorisme.
Anak-anak napiter, selama ini tidak memiliki ruang yang luas untuk bermain bersama selayaknya anak yang lain. Mereka mendapatkan konsekuensi negatif (hukuman) dari kegiatan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tidak memiliki ruang yang luas untuk bermain dengan sebaya, ataupun tidak merasakan hidup layak seperti anak pada umumnya. Sehingga ketika dibawa keluar, menghirup udara yang segar, mereka memiliki sikap yang bringas.
Salah satu contoh kasus dalam pelatihan tersebut, panitia harus menyewa baby sitter untuk merawat anak-anak mantan napiter supaya tidak menganggu ibunya yang sedang belajar. Mereka merasa senang dengan segala wahana permainan yang tersedia. Kembali pada sikap yang ditampilkan oleh istri. Jika di masa silam sang istri mantan napiter akan bersikap tunduk kepada segala petuah dan arahan dari sang suami. Bahkan rela diajak untuk bergabung dalam kelompok teroris dengan alasan dogma atau pengaruh kepemimpinan sang suami. Maka setelah menjadi mantan napiter, komunikasi istri lebih asertif untuk selalu mengingatkan fase terburuk dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Ketika para suami dipenjara, para istri harus mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Hukuman sosial tersebut disampaikan oleh istri akan menjadi warning keras agar sang suami jangan sampai masuk dalam lingkaran setan untuk kedua kalinya. Artinya, mantan napiter yang sudah mengalami deradikalisasi dan siap berbaiat untuk Indonesia, akan ogah untuk kembali pada lingkaran itu karena peringatan keras dari sang istri.
Mantan Napiter dan Upaya Mengkooptasi Anggota Keluarga
Namun, apakah semua mantan napiter akan mengalami fase tersebut? Tentu tidak. Sebab kesungguhan dan pertobatan dimiliki oleh masing-masing orang. Keputusan untuk kembali pada lingkaran setan atau justru menyudahi gerakan yang dilakukan berada di masing-masing orang. Kita tidak bisa memastikan bahwa deradikalisasi akan berbanding lurus dengan kesadaran seseorang, akan tetapi kita bisa memaksimalkan deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada napiter.
Hukuman sosial dari tetangga, mengalami keterasingan pasti dirasakan oleh para mantan napiter. Akan tetapi, lagi-lagi beban berat tetap disematkan kepada perempuan. Misalnya ketika ingin berpisah dari sang suami, perempuan justru sama sekali tidak memiliki ruang untuk mandiri secara ekonomi, sebab hukuman sosial secara tidak langsung lebih dibebankan kepada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan sangat sulit sekali diterima oleh masyarakat sehingga dalam konteks ini tidak berani untuk berpisah dengan sang suami. Maka tidak heran ketika perempuan mantan napiter sangat bergantung kepada suaminya utamanya persoalan kemandirian ekonomi keluarga.
Di sisi lain, saya belum pernah menemukan ada perempuan, khususnya seorang istri yang terlibat dalam kasus terorisme, akan tetapi sang suami tidak terlibat. Sejauh ini, pengalaman membaca fenomena keterlibatan perempuan dalam terorisme, selalu saja diawali dengan terlibatnya sang suami. Atau seorang perempuan yang belum menikah. Dari sinilah kita mampu memahami bahwa, pengaruh suami dalam keluarga sangat menentukan arah dan langkah rumah tangga yang akan dibangun.
Di balik pembahasan di atas, sikap seorang ibu dalam memberikan pengaruh kepada seluruh anggota keluarganya untuk ikut juga dalam lingkaran teroris sangat besar. Ibu dengan segala peran domestik yang dilakukan dalam keluarga, seperti memasak, mencuci dan mengerjakaan pekerjaan rumah, menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh keluarga di masyarakat kita membuat ibu sangat dekat dengan seluruh anggota keluarga. Seluruh hal yang berkaitan dengan ibu menjadikan mereka mampu memahami dan meneladani segala sikap yang ditampilkan oleh ibu. Dari kebiasaan tersebut, anak-anak akan memahami bagaimana gerakan sang ibu ketika terlibat dalam lingkaran terorisme, tanpa kalimat dan strategi yang sangat besar, akan menjadikan sang anak mengikuti gerak ibu.
Berdasarkan peran domestik tersebut, sebenarnya posisi ibu masih dikalahkan dengan suami atau bapak dalam sebuah keluarga. Sebab sang ibu akan cenderung mengikuti gerak dan langkah yang ditampilkan oleh suaminya. Posisi ibu yang ternyata memiliki kekuatan besar untuk mengkooptasi seluruh anggota keluarga kemanapun jalur yang ia akan lalui, ternyata tidak lepas dari arahan dan gerakan sang suami, yang diyakini memiliki tampuk kekuasaan tertinggi dalam keluarga.
Padahal, jika istri dan suami mampu memahami dan menyadari tentang makhluk sosial dan potensi diri masing-masing setiap individu, komunikasi, saling memberi masukan dan arahan justru menjadi penting dalam membina hubungan rumah tangga. Bukan hubungan yang berbentuk hierarkis seperti atasan dan bawahan. Wallahu a’lam.