Sebagai seorang perempuan yang memiliki perspektif gender, saya merasa geram karena masih eksisnya budaya patriarki di masyarakat. Masalahnya, budaya ini bukan hanya sekedar menjadi bagian dari masyarakat, tetapi juga dianggap sebagai nilai yang mulia dan diamini sebagai standar kebaikan oleh masyarakat. Yang akhirnya membuat perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami diskriminasi berdasarkan gender secara terus menerus.
Patriarki dilihat sebagai sebuah sistem sosial yang memposisikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Selain itu, budaya patriarki ini juga menciptakan norma dan nilai yang mendukung pembenaran terhadap diskriminasi gender dan memperkuat pandangan bahwa perempuan seharusnya hanya berperan dalam ruang lingkup rumah tangga dalam masyarakat.
Bagaimana Peran Patriarki dalam Dunia Terorisme?
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H., menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme meningkat selama 10 tahun terakhir. Peran perempuan bertransformasi dari pendukung menjadi pelaku dan tercatat 18 perempuan muda Indonesia nekad melakukan aksi terorisme. Peneliti hukum dan HAM LP3ES, Milda Istiqomah menyatakan demikian juga. Menurutnya Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2001-2020), jumlah tahanan perempuan terkait aksi terorisme di seluruh Indonesia mencapai 39 orang.
Pertanyaannya apakah perempuan benar-benar menjadi ‘pelaku’ dalam aksi terorisme? Tentu tidak! Ia merupakan korban dari patriarki. Karena di dalam budaya yang patriarki, perempuan digunakan untuk menyebarkan dan melanjutkan doktrinasi ideologi ekstremis. Misalnya pada kasus Ika Puspitasari yang melakukan aksi terorisme pada tahun baru 2016, ia disebut ditanamkan ideologi ekstremis melalui kehidupan pernikahannya.
Ketua Yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace, Musdah Mulia juga menyatakan demikian. Menurutnya Walaupun perempuan dalam aksi terorisme merupakan pelaku. Namun secara hakiki mereka tetaplah korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki niatan untuk melakukan tindakan keji dan sistematis dengan tujuan terorisme. Patriarki adalah sistem yang membuat perempuan merasa tidak berdaya dalam masyarakat, termasuk dalam hubungan keluarga.
Dampaknya adalah ketika seorang perempuan terlibat dalam aksi terorisme, tindakan tersebut hanya sebagai cara untuk membuktikan ketaatannya pada suami. Karena sistem patriarki membatasi pilihan perempuan, termasuk kemampuan untuk hidup mandiri, berpikir kritis, dan bertindak secara independen. Ia hanya dididik untuk tunduk dan patuh kepada suami mereka di masa depan.
Ada Pergeseran Peran Perempuan dalam Terorisme
Dahulu, terorisme ini identik dilakukan oleh laki-laki. Namun sekarang tidak demikian, dalam beberapa kasus perempuan justru telah unjuk gigi, tidak lagi terbayang-bayang di belakang layar dan menjadi pembantu kaum lelaki, melainkan sudah bertransformasi menjadi pemeran utama aksi terorisme. Apa alasannya? Karena peran domestik (reproduksi, mengurus suami, mengurus anak dan lain-lain) dan dianggap sebagai sosok yang lemah lembut sudah melekat pada perempuan, sehingga perempuan dianggap dapat mengecoh aparat keamaan, dengan tidak mudah untuk dicurigai.
Mereka seperti memiliki hidden potential yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Menurut Mantan Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh menyatakan bahwa terlibatnya perempuan dalam aksi terorisme ini. Hal ini dikarenakan para pengikut ISIS laki-laki sudah banyak yang meninggal. Sehingga mereka menjadikan perempuan sebagai target sekaligus shamming atau tindakan mempermalukan laki-laki yang tidak punya keberanian untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Pentingnya Perspektif Gender dalam Penanganan Kasus Terorisme
Banyaknya kasus terorisme yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama telah menjadi perhatian serius dalam penanganan kasus terorisme. Namun, dalam penyelesaian kasus terorisme, penting memasukkan perspektif gender. Karena patriarki dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam terorisme.
Selain itu, penting untuk memahami pengalaman unik dan kompleks yang dihadapi oleh perempuan dalam konteks terorisme. Baik sebagai anggota keluarga, anggota komunitas, dan anggota masyarakat, karena pemahaman yang lebih dalam terhadap pengalaman perempuan dalam terorisme menjadi kunci dalam merancang pendekatan yang efektif dalam penyelesaian kasus terorisme yang melibatkan perempuan. Penting juga untuk melibatkan perempuan dalam upaya penanggulangan terorisme, termasuk dalam penegakan hukum, pemulihan pasca terorisme, dan reintegrasi sosial.
Dalam hal ini, peran perempuan sebagai agen perubahan dalam komunitas mereka harus diakui dan didukung. Mereka dapat memberikan kontribusi berharga dalam mencegah terorisme, melibatkan komunitas, dan mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi. Patriarki memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia terorisme. Oleh karena itu, penyelesaiannya juga memerlukan pendekatan yang melibatkan perspektif gender, karena perempuan memiliki motif yang khas yang berbeda dari laki-laki ketika menjadi pelaku terorisme.