Sosialisasi Pergub Jateng No. 35 Tahun 2022
Pada tanggal 28 Maret 2022 lalu, pemerintah provinsi Jateng bersama AMAN Indonesia dan Percik menggelar acara kenduri perdamaian sekaligus melakukan sosialisai Peraturan Gubernur Jateng No. 35 Tahun 2022 mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme yang mengarah pada terorisme di Provinsi Jawa Tengah. Membuka acara tersebut, gubernur Jateng menyapa warga yang datang dengan mengucapkan salam pancasila.
Beliau mengungkapkan bahwa salam ini perlu terus digaungkan agar semua warga Indonesia terus mengingat dasar konstitusi negara sekaligus menjadikan Pancasila sebagai pedoman berkehidupan sosial. Sebab, dengan zaman yang semakin terbuka, akan mudah sekali budaya luar masuk, dan bila kita tidak berhati-hati bisa selanjutnya terperdaya dan kurang merawat budaya lokal milik bangsa.
Politik Global dan Ketahanan Sosial Politik
Contoh riil dari kasus ini adalah betapa banyaknya generasi muda yang menggemari K-Pop hingga pada tahap fanatik. Namun mereka kerap memandang remeh kebudayaan asli bangsa. Bahkan terkadang melihat tradisi yang turun temurun sebagai warisan yang tak perlu dilestarikan dengan embel-embel “syirik”, “sesat” dan sebagainya.
Penyematan label secara sembrono tersebut, sayangnya tidak dibarengi dengan mempelajari filosofi. Serta makna mendalam mengapa budaya tersebut diselenggarakan. Sehingga, akhirnya mencederai persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih lanjut, Gubernur Jawa Tengah juga kembali menanyakan audiens yang hadir, “apakah ada yang menggemari gamelan?”
Beberapa warga yang datang kemudian menjawab lantang. Namun, pada era sekarang, permainan gamelan pun mendapati pro kontra terkait bagaimana seharusnya alat-alat musik tersebut dimainkan. Penikmat dan pemain gamelan yang konservatif melihat bahwa gamelan harus tetap dimainkan secara konvensional, atau langsung pakai tangan. Sedangkan di saat yang sama, anak-anak muda sekarang telah mendesain gamelan digital yang mengeluarkan nada-nada sama.
Lalu, manakah yang perlu dibela? Tentu, keduanya! Perumpaan ini juga berlaku pada keragaman pendapat terkait ibadah. Jamaah Nahdliyin misalnya, ketika solat subuh menggunakan qunut. Sedangkan warga Muhammadiyah tidak. Perbedaan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan, cukup menghargai satu sama lain saja.
Selain perbedaan tadi, derasnya arus informasi di media sosial cukup mempengaruhi bagaimana kita bersikap. Pertentangan ideologi yang dulunya hanya sebatas di ruang diskusi, ruang kelas, kini berpindah tempat di dunia maya. Propaganda dan berita palsu menyeruak. Dampaknya, masyarakat mudah terombang-ombing. Belum lagi terjadinya tumpang tindih kepentingan politik yang akhirnya membuat potensi konflik dan kekerasan semakin mencuat.
Oleh karena itu, kepala daerah yang lahir pada bulan Oktober ini mengajak para peserta kenduri perdamaian untuk lebih berpikiran terbuka dan tidak gampang tersulut emosi. Dan, ketika ada perbedaan, melakukan musyawarah bisa menjadi jalan keluar yang terbaik karena tanpa kesemua hal tadi, seorang individu yang berpikiran tertutup akan lebih mudah terjebak dalam perangkap radikalisasi, seperti yang dialami oleh Jack Harun atau Joko Tri Harmanto.
Kisah Eks-Napiter dan Program Deradikalisasi
Sebelum berbincang pada acara kenduri perdamaian, Joko adalah seorang narapidana terorisme (napiter). Ia dulunya merupakan murid dari Dr. Azahari yang merupakan aktor utama dalam peristiwa bom Bali. Sebagai anak buah, Joko didapuk untuk merakit bom dengan daya ledak tinggi. Awalnya, ia melihat bahwa apa yang ia kerjakan adalah jihad akbar.
Terlebih, semenjak SMP hingga kuliah, ia kerap membaca selebaran berita penderitaan warga Bosnia, Palestina dan umat Islam lainnya yang teraniaya. Kabar tersebut membuat ia sedih. Tapi, di saat yang sama ia mendapati senior yang justru semakin mengajaknya semakin aktif dalam jejaring radikalisme. Dirinya pun mengaku sempat lari selama dua tahun lamanya sebelum bertemu kembali dengan Noordin M Top.
”Saya sempat lari 2 tahun, kemudian merasa aman saya pulang ke Solo. Tapi waktu itu lagi-lagi Noordin kembali ke Solo mengajak action lagi di Malang waktu itu mau Fa’i atau perampokan,” bebernya.
Namun setelah menyadari bahwa banyak korban bergelimpangan akibat aksinya, ia memutuskan untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Kini, Jack Harun telah insyaf setelah menjalani vonis penjara 6 tahun, dan keluar dari penjara pada tahun 2008. Eks Napiter itu akhirnya merintis usaha kuliner yang juga dibantu oleh mantan napiter lainnya.
Dari kisah Joko yang sempat terjebak radikalisme, Gubernur Ganjar Pranowo menitipkan pesan kepada seluruh peserta kenduri perdamaian agar Pergub No. 35 Tahun 2022 dapat diturunkan di tingkat Kabupaten/Kota. Sebab, radikalisme tidak bisa ditangani oleh pemerintah pusat dan provinsi saja, namun semua pihak harus terlibat, termasuk para orangtua dan generasi muda.