Sistem khilafah yang diterapkan di Afghanistan oleh Taliban, memperkuat referensi kepada kita semua bahwa, sistem khilafah bukanlah seperti janji yang dikoar-koarkan oleh para aktivis khilafah Indonesia di media sosial. Segala bentuk kemakmuran dan kesejahteraan yang ditawarkan oleh aktivis khilafah, ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang sebenarnya. Artinya, janji utopis para aktivis khilafah ketika menerapkan khilafah di Indonesia, hanyalah janji politik yang biasa dilontarkan oleh para politisi ketika berkampanye.
Kehadiran Taliban di Afghanistan menjadi praktik yang nyata untuk mematikan narasi peran perempuan khilafah dalam sebuah negara. Bukannya Afghanistan menjadi makmur, justru mundur ke belakang dengan kebijakan yang tidak memanusiakan perempuan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Taliban, dikecam oleh dunia internasional. Berkenaan dengan kebijakan tersebut, kita bisa melihat ada beberapa kebijakan yang sangat tidak ramah terhadap perempuan, di antaranya:
Pertama, perempuan boleh ke pasar namun harus ditemani oleh mahram atau laki-laki dari anggota keluarganya. Kedua, perempuan belum boleh bertemu laki-laki di atas 12 tahun yang bukan anggota keluarganya. Ketiga, perempuan hanya boleh mendapatkan pendidikan di sekolah khusus perempuan, bukan sekolah umum, serta hanya boleh diajar oleh guru perempuan.
Keempat, perempuan tidak boleh menggunakan make-up, cat kuku ataupun kutek. Tidak hanya itu, para perempuan tidak diperkenankan untuk menggunakan hak sepatu tinggi agar tidak terdengar langkah kakinya oleh lawan jenis. Kelima, perempuan tidak boleh bekerja di ruang publik. Kebijakan tersebut dibantah oleh Taliban.
Meskipun demikian, berdasarkan sejumlah laporan menyebut perempuan Afghanistan yang bekerja di ruang publik seperti perbankan, PNS, dikawal oleh Taliban saat pulang ke rumah. Hal ini tentu membuat sangat tidak nyaman dan berpengaruh terhadap keamanaan perempuan itu sendiri.
Keenam, perempuan wajib menggunakan burqa agar tidak memamerkan kecantikannya. Apalagi ketika berinteraksi dengan lawan jenis di luar rumah. Kewajiban ini akan menghambat perempuan yang bekerja menjadi jurnalis, penyiar TV ataupun pekerjaan lain yang mengharuskan perempuan berinteraksi kepada publik.
Ketujuh, perempuan harus berbicara dengan suara pelan, apalagi ketika berada di tempat umum. Bahkan, para perempuan tidak boleh menjadi model produk, ataupun tidak boleh ada di sampul buku dan poster apapun. Kedelapan, perempuan diizinkan untuk menggunakan gamis dan niqab ketika belajar di perkuliahan. Kondisi kelas di perkuliahan harus dipisahkan jenis kelamin, atau setidaknya dihalangi dengan tirai.
Atas dasar kebijakan di atas, para perempuan di Taliban memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara yang tidak merdeka. Segala bentuk perjuangan, gerakan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan di Afghanistan, mendapatkan perlawanan dari Taliban. Mereka tidak segan-segan memukul bahkan membunuh orang-orang yang berani menentang kebijakan yang sudah ditetapkan.
Menariknya adalah, kehadiran Taliban yang berhasil memimpin Afghanistan dengan sistem khilafah, menjadi referensi para aktivis khilafah garis keras, khususnya para jihadis, kelompok teroris, untuk menjadikan contoh Afghanistan sebagai negara yang ditegakkan oleh sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian, pamor Taliban sebagai kelompok superior yang berkedok Islam, di satu sisi mendapatkan ketenaran karena narasi tentang tegaknya khilafah di bumi, akan disusul oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Artinya, wacana tentang penegakan negara Islam di Indonesia, semakin banyak memperoleh kepercayaan dari para pengikut berdasarkan keberhasilan Taliban memimpin Afghanistan dengan sistem khilafah.
Kriteria Khalifah dalam Sistem Negara IslamLalu, di Indonesia, bagaimana wacana tentang penegakan negara Islam dan hubungannya dengan perampasan perempuan? para aktivis khilafah memiliki kriteria khalifah dalam sebuah negara Islam, di antaranya:
Pertama, muslim. Khalifah harus seorang muslim, tidak boleh kafir, munafik ataupun diragukan kebersihan aqidahnya. Kedua, laki-laki. Khalifah harus seorang laki-laki, sebab jika perempuan tidak sah. Ketiga, merdeka (bukan budak). Keempat, baliqh. Tidak sah jika anak-anak, karena belum memahami persoalan.
Kelima, mujtahid. Tidak sah jika dipimpin oleh orang bodoh dan hanya ikut-ikutan. Keenam, adil. Tidah sah apabila pemimpin fasik dan tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyanya. Ketujuh, amanah. Artinya ia mampu menyampaikan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam menyebarkan nilai-nilai Islam. Kriteria khalifah yang distandartkan oleh para aktivis khilafah sebenarnya adalah utopia masa kini.
Sebab mereka belum memiliki sistem yang jelas untuk menegakkan cara pemilihan pemimpin, siapa yang ditawarkan untuk menjadi pemimpin. Kriteria khalifah yang dimiliki oleh para aktivis khilafah untuk memimpin sebuah negara Islam, tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk memimpin. Hal ini berdasarkan dengan sebuah hadis, akan rusak sebuah negara jika dipimpin oleh seorang perempuan.
Perjuangan para aktivis khilafah di Indonesia, perlu kita gugat karena, berdasarkan kriteria khalifah yang dijadikan pemimpin negara, sama sekali tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan dan berkarya. Artinya, sejalan dengan kebijakan Taliban, apabila membiarkan sistem negara Islam tegak di Indonesia, maka memberikan ruang bagi para aktivis patriarki untuk hidup. Hal ini pastinya akan mematikan perjuangan para aktivis perempuan.