29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Pentingnya Dialog Inklusif untuk Mencegah Terorisme

Ancaman Terorisme di Indonesia
Berdasarkan data dari Universitas Indonesia, dalam tujuh tahun terakhir tercatat ada sekitar 130 kasus terorisme. Dari penindakan kasus yang telah dilakukan pihak berwajib, 896 pelaku telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, 126 di antaranya dihukum mati, 674 sedang dalam hukuman dan 96 pelaku telah dibebaskan. Melihat jumlah kasus yang masih cukup tinggi, hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih menjadi masalah serius di Indonesia yang tak hanya melibatkan pelaku di dalam negeri.

Melainkan jaringan lintas negara. Belum lagi, kini tindakan individu menjadi salah satu strategi. Sehingga kian sulit untuk mengidentifikasi si pelaku berafiliasi dengan siapa. Selain pendekatan lone wolf, ada juga yang membawa anggota keluarga dalam melancarkan serangan teror. Salah satu kasus serangan di gereja misalnya, pelaku bukan hanya mengajak serta pasangan tapi juga anak mereka. Hal ini semakin menandakan bahwa variasi serangan terorisme kian beragam.

Pada saat yang sama, pesan kebencian dan intoleransi semakin banyak beredar di media sosial. Kelompok radikal dengan mudah menyebarkan propaganda karena mayoritas media sosial tidak memiliki filter otomatis yang dapat menyaring dan mencegah pesan bernada ekstremisme untuk diblok sebelum beredar luas. Dinamika seperti itu tak bisa dipungkiri akhirnya dapat mendorong masyarakat yang kurang mendalami esensi agama sebenarnya, untuk kemudian terjebak dalam perangkap radikalisasi.

Di saat yang sama, ancaman kelompok ekstremis berbasis kekerasan lebih banyak menekankan strategi militer atau pendekatan keamanan untuk mencegah tindakan terorisme. Pendekatan tersebut memang efektif dari sisi penindakan, namun jika melihatnya dari kacamata pencegahan, pendekatan keamanan tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Perlu cara preventif, terutama yang berkaitan dengan upaya peningkatan pemahaman masyarakat agar ke depannya sebanyak apapun kampanye negatif yang dibawa oleh kelompok ekstremis, tidak akan efektif untuk mengubah persepsi dari masyarakat, khususnya generasi muda.
Dialog Inklusif sebagai Salah Satu Strategi Mencegah Terorisme

Menindaklanjuti fenomena radikalisasi di media sosial, PBB pada tahun 2015 lalu meluncurkan Rencana Aksi Pencegahan Ekstremisme. Salah satu poin dari program tersebut adalah menggencarkan dialog inklusif dalam menjembatani berbagai perbedaan pendapat dan pemahaman di lingkungan masyarakat. Lalu dialog seperti apa yang diharapkan akan mencegah proses radikalisasi?

Menilik mandat organisasi global tersebut, disebutkan bahwa dialog berpotensi besar untuk menyelesaikan konflik. Bentuknya bisa digelar dalam berbagai format dan dapat dilaksanakan pada berbagai tahap siklus konflik. Berbeda dengan pandangan awam yang kerap mempersepsikan ‘dialog’ sebagai tahapan negosiasi formal atau proses mediasi, dialog inklusif yang dimaksud oleh PBB cenderung memiliki konsep yang lebih luas.

Dialog inklusif lebih mengarah pada bagaimana dialog yang terjadi dalam tiap elemen kehidupan masyarakat dapat mengalir tanpa harus memaksakan kehendak. Dalam kata lain, ketika terjadi dialog, jika terjadi perbedaan pendapat, semua pihak dapat dengan jernih memahami latar belakang argumen satu sama lain. Dan, jika ada opini yang memecah belah, semua pihak yang terlibat dalam dialog dapat mendorong terjadinya mediasi.

Pada tingkat yang lebih formal, dialog tidak hanya melibatkan oknum pemerintah saja. Namun bila ada kesempatan yang memungkinkan, pemerintah bisa mengajak perwakilan dari kelompok radikal untuk berdiskusi. Meski beberapa pihak melihat ide ini dengan memicingkan mata, namun ahli dari PBB menyampaikan bahwa dialog sejenis perlu didorong untuk dapat mengetahui latar belakang mereka melakukan aksi kekerasan dan teror.

Dengan mendalami motif dan apa yang mereka inginkan, pemerintah selanjutnya dapat melakukan analisis mendalam bagaimana menyusun strategi pencegahan dan pengendalian. Tidak hanya itu, dalam perkembangannya dialog juga memungkinkan pemerintah memetakan aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana menekan agar ideologi mereka tidak berkembang secara luas.

Selain melakukan dialog dengan kelompok teroris, dialog inklusif dalam rangka pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan juga berlaku pada kelompok berlatar belakang suku/agama. Dalam hal ini, pemerintah atau pihak berwenang bisa melibatkan tokoh-tokoh agama/masyarakat agar mereka bisa mencurahkan dinamika umat atau suku yang mereka pimpin.

Ketika dialog terjadi, diharapkan tiap pihak bisa saling membuka diri dan kemudian fasilitator yang menjembatani dialog dapat mendorong mengalirnya cerita dan harapan masing-masing pihak kepada satu sama lain. Lewat situasi yang terjalin, mudah-mudahan tiap individu yang diundang dalam dialog tersebut mampu lebih membuka diri dan pikiran. Sebab, kesalahpahaman terjadi karena minimya ruang temu yang mengedepankan hati terbuka dan cita-cita.

TERBARU

Konten Terkait