Isu radikalisme agama dan terorisme masih menjadi masalah serius di Indonesia. Dalam rangka untuk mengkampanyekan narasi damai dan meng-counter terorisme dan radikalisme agama, diperlukan cara-cara yang kreatif. Salah satunya adalah melalui film. Menurut Direktur Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Munjid, salah satu akar persoalan terus munculnya isu radikalisme dan terorisme di Indonesia terletak pada cara berkomunikasi.
”Komunikasi yang berkaitan dengan fakta bahwa seringkali orang hanya berfokus pada potongan-potongan informasi, potongan-potongan video yang viral dan bahkan potongan-potongan ajaran agama yang telah dilepaskan dari konteksnya,” katanya dalam agenda WGWC Talk #25, Sabtu (18 Maret 2023).
Diungkapnya, banyak orang tidak menyadari bahwa jika mereka hanya mendapat informasi atau ajaran agama yang sepotong-sepotong. Hal tersebut, sangat mungkin telah diframing dan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan orang dan kelompok tertentu.
Ironisnya, lanjutnya, jika potongan informasi dan ajaran agama yang salah tafsir tersebut kemudian mempengaruhi dan mendorong orang untuk melakukan kekerasan, maka justru masyarakat luas yang tidak tahu apa-apa lah yang kemudian menjadi korban.
”Dalam upaya untuk mengkampanyekan narasi damai dan meng-counter terorisme dan radikalisme agama, sinema dan film dianggap sebagai sarana yang efektif dan kreatif. Ada banyak kisah sukses di mana sinema dan film telah membantu mengubah hidup orang dan mempromosikan nilai-nilai damai,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Arifuddin Lako, juga dikenal dengan nama Bang Brur, adalah salah satu contoh sukses dari sinema dan film yang mampu mengubah hidup orang. Sebelum menjadi sineas dan aktivis sosial yang aktif dalam mengkampanyekan narasi damai dan counter terorisme, pada tahun 2000, Lako sendiri menjadi bagian dari kelompok radikal dan terorisme itu sendiri.
Hal ini tidak terlepas dari pengalaman buruk dan trauma masa lalu yang dialami Lako bersama masyarakat Poso yang mengalami konflik berdarah di Poso pada tahun 1998-2000. Pengalaman menjalani hukuman penjara yang kedua tersebut lah yang telah mendorong Lako untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik.
”Setelah keluar penjara, saya dan teman-teman membentuk Komunitas Rumah Katu (atap rumah daun sagu/Kami Satu), dengan tujuan merubah image Poso yang dikenal sebagai kota konflik dan teroris. Komunitas Rumah Katu menjadi menjadi tebusan atas apa yang mereka telah lakukan membuat Poso dan masyarakat Poso terjebak dalam konflik berkepanjangan,” ungkapnya.
Ani Ema Susanti, seorang sineas dan aktivis sosial dari Kreasi Prasasti Perdamaian, berbagi kisah perjuangannya sebelum meraih kesuksesan di dunia film. Ani mengatakan bahwa sebelumnya ia pernah menjadi pekerja migran di Hong Kong pada tahun 2001-2003, setelah lulus dari SMA dan terpaksa menjadi pekerja migran untuk menghidupi keluarganya di kampung halamannya.
Namun, pengalaman tersebut tidak menghalangi semangat Ani untuk belajar dan berkarya dalam bidang film. Pengaruh positif dari film-film yang ia tonton membuat mata Ani terbuka dan menyadari bahwa film dapat memiliki pengaruh yang dahsyat untuk mengubah hidup orang lain. Hal tersebut mendorong Ani untuk terus belajar dan membuat film.
Pada tahun 2018, Ani dan beberapa rekannya melaksanakan festival film Madani dan saat itu ia menonton sebuah film yang sangat menarik berjudul “Pengantin”. Film tersebut menceritakan tentang bagaimana orang terlibat dalam kegiatan terorisme. Film tersebut menjadi titik awal bagi Ani untuk tertarik pada isu CVE (Countering Violent Extremism).
”Bagi saya, film dapat menjadi media yang efektif untuk mengkampanyekan narasi-narasi damai dan counter-terrorism. Dalam mengatasi isu radikalisme agama dan terorisme di Indonesia, memerlukan cara-cara kreatif, termasuk melalui film,” pungkasnya.