Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis oleh LIPI, disimpulkan bahwa ada yang lebih berbahaya dari terorisme, yaitu radikalisme. Karena seseorang yang berpaham radikal, memiliki doktrin untuk menyebarkan ideologinya kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Naasnya, sebaran ideologi radikal ini juga banyak dijumpai di Sekolah. Mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Begitu juga dengan lembaga pendidikan lainnya.
Masih dalam penelitian yang sama, Endang sebagai senior peneliti di LIPI menyampaikan beberapa temuan. Sebanyak 21% siswa dan 21% guru menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak layak untuk digunakan sebagai dasar negara. Sedangkan sisanya, atau sebanyak 84% siswa dan 76% guru menyatakan syariat Islam adalah dasar negara yang tepat bagi Indonesia.
Belum lagi, banyak ditemukan aturan-aturan yang bertentangan dengan semangat nasionalisme di sekolah. Seperti larangan memberi hormat pada bendera, larangan menyanyikan lagu Padamu Negeri, dan juga dihapusnya upacara bendera. Jika tidak segera ditanggulangi, maka akan mendatangkan dampak yang lebih besar lagi.
Sekolah Inklusif Sebagai Solusi
Penyelenggaraan sekolah inklusi bertujuan untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh Pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi. Untuk menyelenggarakan Pendidikan inklusi, sekolah harus mampu memetakan terlebih dahulu system pembelajaran, kurikulum, dan juga sarana prasara sesuai dengan kebutuhan sekolah. Proses asesmen dan identifikasi awal ini sangat dibutuhkan agar program yang dicanangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik di sekolah tersebut.
Setelah asesmen dilakukan, sekolah inklusif berupaya untuk menghadirkan kondisi kelas yang ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Dengan menciptakan kondisi kelas yang ramah, diharapkan seluruh peserta didik mampu menerima materi dengan rasa nyaman. Tidak mengolok-ngolok minoritas, dan memahamkan peserta didik bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku, ras, dan agama. Sehingga tidak ada siswa yang merasa superior karena merasa dari keluarga kaya dan merasa berasal dari agama mayoritas.
Keterlibatan orang tua juga sangat diharapkan dalam penyelenggaraan sekolah inklusi. Orang tua harus turut memantau bagaimana sikap anak dirumah. Jika dirasa ada hal-hal yang mengkhawatirkan, orang tua harus segera melaporkan kepada guru. Selain diberi nasihat sendiri tentunya oleh orang tua. Namun ada beberapa anak yang mungkin saja lebih percaya dan lebih mendengarkan guru di sekolah.
Dengan begitu, guru dan pihak sekolah bisa segera merespon dalam bentuk penguatan ideologi dan juga memberikan teguran jika memang tindakan yang dilakukan sudah dalam bentuk tindakan. Misalkan ikut terlibat dalam pembakaran rumah ibadah, menyampaikan hate speech, dan gampang melabeli “kafir” kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Kelebihan lain dari penerapan sekolah inklusif ada pada metode pembelajarannya. Alih-alih menggunakan system pembelajaran ceramah, sekolah inklusif mengedepankan pembelajaran interaktif. Dalam proses pembelajaran tersebut, guru dan anak saling berinteraksi. Dengan interaksi yang komunikatif, diharapkan bisa terjalin bounding antara anak dan guru. Jika bounding sudah terjalin, maka akan lebih mudah bagi sekolah untuk memberikan pengertian kepada peserta didik jika melakukan kesalahan.
Apakah penerapan sekolah inklusi harus membuka sekolah baru?
Tentu saja tidak, karena sekolah inklusif sama dengan kelas regular biasa. Hanya bedanya ada di proses pembelajaran dan kurikulum. Dimana dalam proses tersebut, sekolah mengelola kelas yang heterogen disesuaikan dengan kebutuhan individual setiap anak dalam kelas.
Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Memang bukan hal yang mudah, namun penerapan sekolah inklusi akan berdampak positif untuk proses pembelajaran jangka panjang.
Selain melakukan assesmen dan pemetaan kebutuhan sekolah, penyelenggaraan pendidikan inklusif harus dimulai dari berbagai perubahan. Dimulai dari cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi. Guru dan sekolah harus mampu beradaptasi dengan siswa yang mungkin saja memeiliki preferensi busana yang berbeda. Tidak mudah menghakimi namun harus memastikan bahwa identitas busana yang digunakan peserta didik tidak disebabkan oleh doktrin dari organisasi tertentu.
Jika anak-anak sudah merasakan kenyamana di sekolah yang inklusif maka anak-anak akan merasa berada di lingkungan yang aman. Jika anak-anak sudah merasa nyaman dengan lingkungan sekolahnya, maka anak-anak tidak akan mencari komunitas atau kelompok lain yang bisa saja terafiliasi dengan gerakan ekstrimis dan radikal.