33.4 C
Jakarta
Minggu, 10 November 2024

Tips Memilih Ustaz untuk Otoritatif Keagamaan

Beberapa waktu lalu, kehadiran ustaz Hanan Attaki ketika melakukan safari, ditolak oleh masyarakat Madura. Bukan ditolak, tapi lebih tepatnya di demo karena sudah melakukan safari di Pamekasan. Sebelumnya, ustaz Hanan Attaki sudah memperoleh penolaakan dari masyarakat Jawa Timur. Saya tertarik untuk mengkaji sosok Hannan Attaki dengan circle ustaz hijrah yang kontroversial, seperti: Felix Siauw, Khalid Basalamah, dan lain-lainnya.

Circle pertemanan ustaz di atas bisa disimpulkan bahwa mereka adalah, ustaz seleb yang memiliki power luar biasa di media sosial. Mereka memiliki otoritas keagamaan di media sosial, dengan pengaruh lebih besar dibandingkan dengan para kiai di pesantren, yang memiliki keilmuan agama sangat mumpuni. Namun, zaman media sosial adalah zaman yang tidak bisa ditawar. Kita sedang dihadapi oleh masa, di mana semua informasi bisa didapatkan di media sosial, termasuk soal keagamaan.

Tidak heran, ketika mencari sumber keagamaan yang tepat, anak muda selalu yakin kepada orang-orang yang memiliki followers banyak, akun centang biru. Otoritas keagamaan semakin kesini tidak dilihat dari kemampuan agama yang dimiliki oleh seseorang. Akan tetapi dilihat dari media sosial yang menjadi representasi kehidupan. Apabila media sosialnya baik, pengikutnya banyak, branding akunnya cukup menarik, utamanya persoalakan keagamaan, maka akan dijadikan sumber rujukan bagi anak muda.

Senada dengan realitas tersebut, Lynn Schofield menawarkan konsep otoritas berbasis konsesus, di mana poin utamanya adalah pengakuan diterima secara luas. Seorang ustaz atau ulama mendapat popularitas selain karena memiliki karisma, juga karena mendapatkan pengakuan dari orang banyak. Maka tidak salah, ketika media sosial adalah cerminan dari kehidupan seseorang, semakin banyak pengakuan terhadap seseorang tentang keulamaannya, semakin kuatlah dia menjadi sumber keagamaan yang otoritatif.

Namun, bagaimana dengan anak muda? Berkenaan dengan ini, Tapscott, seorang konsultan bisnis yang kerap kali berbicara tentang anak muda, mengemukakan bahwa anak muda sebagai “net generation”. Net generation ini memiliki delapan karakteristik, di antaranya: Pertama, freedom yakni kebebasan yang dimiliki di media sosial. Mereka memiliki akses tanpa batas untuk mengakses media sosial. Segala situs apapun, untuk mengekspresikan diri, dengan tanpa batas.

Kedua, customization artinya mereka adalah konsumen aktif yang mengetahui bagaimana mencari informasi yang ada di media baru dan membangun identitas lewat media baru. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yang tidak hidup di media sosial, atau baru menggunakan media sosial. Anak muda lebih mahir membangun identitas dirinya di media sosial. Mereka juga lebih cepat untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber. Kemampuan mereka lebih mumpuni dalam persoalan media sosial dibandingkan dengan yang lain.

Ketiga, scrutiny, artinya anak muda bersifat kritis terhadap kualitas infomrasi yang diterima. Mereka tidak segan-segan untuk mencari lebih banyak informasi yang diterima dari berbagai sumber. Keempat, integrity, artinya anak muda memiliki komitmen terhadap kejujuran, tanggung jawab, toleransi dan kesadaran dalam menggunakan media sosial.

Kelima, collaboration, artinya anak muda dalam menggunakan media sosial menciptakan jejaring sosial atau berkolaborasi dengan yang lain. Kolaborasi ini juga berlanjut pada kehidupan offline. Dalam contoh sederhana, kita bisa melihat berbagai komunitas online yang berjalan dengan sangat sempurna sesuai dengan bidang dan minatnya masing-masing. Keenam, entertainment, artinya anak muda mencari kesenangan dan hiburan di dalam media baru. Ketujuh, speed, artinya anak muda melakukan respon yang menjelaskan bahwa anak muda melakukan respon yang cepat melalui media baru. Kedelapan, innovation, artinya anak muda terus berinovasi menciptakan konten-konten baru dan ide-ide baru dalam menggunakan media teknologi komunikasi.

Karakter ini berpengaruh terhadap cara anak muda dalam memilih sumber otoritas keagamaan di media sosial, utamanya ustaz. Ustaz seleb memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang anak muda terhadap sosial keagamaan. Maka dari itu, sikap kritis anak muda untuk memilih ustaz. Dalam kitab Ta’limul Muta’allim, ada tiga kriteria ustaz yang boleh untuk diikuti, di antaranya:

Pertama, memiliki wawasan yang luas. Penguasaan terhadap ilmu agama, merupakan syarat utama kita memilih guru. Sebab orang yang menguasai ilmu agama, akan mampu melihat berbagai fenomena yang terjadi masa kini, untuk dijadikan rujukan dalam permasalahan agama. Kedua, memiliki sifat wara’. Ketiga, pilih ustaz yang sedikit lebih tua. Berdasarkan kriteria ini, melalui karakter anak muda cukup unik seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka menjadi penting untuk memilih ustaz yang dalam kajian, dakwahnya ataupun gerakan keislaman yang dilakukan, tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

TERBARU

Konten Terkait