Keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme terus menunjukkan tren yang berkembang. Di awal kemunculannya perempuan seringkali di representasikan sebagai korban atas perilaku suaminya yang seorang teroris. Kemudian beralih menjadi support system, dimana perempuan tidak terlibat dalam aksi pengeboman maupun terror namun mensuplai semua kebutuhan suami sebelum melakukan aksinya.
Kemudian belakangan terjadi perubahan yang signifikan, seorang perempuan menjadi martir bersama dengan suaminya atau sering disebut dengan “pengantin”. Dan yang terakhir, menunjukkan fakta yang mengejutkan dimana perempuan menjadi seorang pelaku tunggal.
Perempuan sebagai martir ditemukan pertama kali di kasus bom bunuh diri pada kasus jaringan terorisme ISIS di Indonesia yaitu Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Dian telah mengikuti doktrin ekstrimisme secara daring di bawah instruksi JAD yang berafiliasi dengan ISIS. Ditahun 2018 aksi penyerangan yang dilakukan oleh perempuan kembali dilakukan oleh dua perempuan muda, Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia yang berencana melakukan penusukan terhadap anggota kepolisian di Mako Brimob.
Kemudian diawal 2021, ada dua kasus besar yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang melakukan pengeboman di gereja Katedral Makassar, dan pelaku bom perempuan tunggal di Mabes Polri Jakarta. Meskipun memiliki peran yang vital dan beresiko namun menurut Victoroff (2004) perempuan sebagai martir ini menempati level yang rendah yaitu sebagai follower dengan posisi sebagai foot soldier.
Hal ini terjadi karena posisi ini adalah posisi yang diisi oleh anggota-anggota yang memiliki kemauan besar namun tidak banyak memiliki peran penting lainnya dikelompok. Yang mereka miliki hanya keyakinan kuat bahwa setelah melakukan pengeboman ia akan mendapat balasa surga.
Lantas Bagaimana Negara Harus Bersikap?
Kategorisasi keberadaan posisi dan peran dari istri terorisme yang menyatakan bahwa meskipun telah ada kategorisasi bahwa pasangan atau istri sebagai pelaku terror, akan tetapi hal itu tidak dapat dilepaskan dari pemaknaan bahwa istri adalah sebagai korban. Hal ini sesuai dari hasil riset Idham B. dan Any Rufaedah yang menyatakan adanya penyebab dan faktor psikologis ataupun sosial yang memaksa istri menjadi sosok martir maupun pendukung kegiatan suami.
Secara Sosiologis, kaum perempuan, termasuk anak-anak, adalah kelompok rentan (the vulnerable groups). Tidak dapat diingkari bahwa kaitan kuat yang melatarbelakangi munculnya pemahaman dan aksi terror adalah agama dan tingkat religiusitas seseorang. Sering dinilai sebagai faktor signifikan bagi lahirnya dan menyebarnya paham ekstrimisme (Kakar dan Lawrence, 192).
Pembahasan isu terorisme masih sering memfokuskan diri pada ranah penegakkan hukum, kerjasama pemberantasan antar negara, analisis Undang Undang, hingga pendefinisiaasn terorisme dari kacamata hukum, agama, dan politik. Penelitian tentang perempuan/istri dalam terorisme seringkali terlupakan dalam wacana dan diskusi mengenai isu terorisme.
Baik dalam penyelesaian masalah maupun pada proses pembuatan kebijakan untuk melawan terorisme di Indonesia. Perempuan juga menjadi sosok yang terekslusi dalam proses perencanaan, dialog, dan respon mengenai isu pencegahan dan penanganan ektremisme. Mulai dari sisi kesehatan, pendidikan, kemananan hingga perdamaian.
Pentingnya Memasukkan PUG dalam RAN PE
RAN PE adalah salah satu wujud komitmen pemerintah untuk memberantas aksi terorisme. Dimana didalamnya terdapat program yang terencana, sistematis, dan terpadu yang harus dikerjakan secara bersama-sama baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun stakeholder terkait.
Salah satu prinsip yang digunakan sebagai dasar penyusunan RAN PE adalah pengarusutamaan gender dan perlindungan hak anak. Prinsip ini digunakan sebagai dasar, guna mengakomodir semakin masifnya keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme. Telah dipahami bersama bahwa kultur masyarakat Indonesia yang patriarkis menempatkan status perempuan dibawah laki-laki.
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan berdampak pada peletakan peran yang didasarkan ppada jenis kelamin. Perempuan diposisikan di ruang privat, sedangkan laki-laki di ruang public. Penempatan peran yang didasarkan pada jenis kelamin ini pada akhirnya berdampak pada perbedaan akses dan control terhadap sumber daya, dan juga kekuasaan pengambilan keputusan.
Perspektif gender dalam RAN PE harus disertakan dalam proses persiapan, desain, implementasi, pemantauan dan evaluasi kebijakan, Langkah-langkah pengaturan dan program pengeliaran. Tujuannya adalah untuk mengkampanyekan kesetaraan laki-laki dan perempuan dan menghindarkan diskriminasi gender yang bertentangan dengan HAM.
Dengan dimasukkannya PUG dalam RAN PE diharapkan mampu mengikis ketimpangan laki-laki dan perempuan. Dilibatkannya perempuan dan penggunaan perspektif gender dalam RAN PE adalah bukti bahwa perempuan memiliki andil yang besar untuk mencegah dan melawan ekstrimisme kekerasan yang mengarah pada terorisme.