32.4 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Mengapa Perempuan Nekat Melakukan Bom Bunuh Diri?

Fenomena Perempuan Pelaku Bom Bunuh Diri
Dalam beberapa dekade terakhir, persoalan jenis kelamin sepertinya tidak lagi relevan ketika membincangkan identitas pelaku bom bunuh diri. Sejumlah kasus, baik di tanah air maupun di luar negeri, menunjukkan bahwa pelaku bom bukan hanya berasal dari kaum Adam saja, tetapi para perempuan pun ikut terlibat.

Bahkan aksi teror di Surabaya pada tahun 2018 lalu, perempuan pelaku tidak hanya menjalankan aksinya seorang diri, namun juga melibatkan keluarga besarnya. Sebelas dua belas dengan yang terjadi di Indonesia, di negara lain fenomena yang sama turut terjadi.

Pada awal 2000-an, saat Rusia terlibat dalam perang kekerasan dengan Chechnya, kelompok perempuan Chechnya tidak hanya berada di belakang layar. Selama konflik, pemberontak Chechnya kerap melakukan serangan teroris, salah satu aksi mereka yaitu melakukan penyanderaan di teater Moskow pada tahun 2002. Serangan-serangan itu ditandai oleh perempuan pelaku bom bunuh diri yang oleh pers disebut “black widow”. Julukan ini bukanlah tanpa sebab. Semua pelaku dinamai seperti itu karena banyak yang kehilangan suami selama konflik.

Selain pemberontak Chechnya, kelompok teroris lain, seperti Al Qaeda, juga mempekerjakan jihadis perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Fakta baru yang memperlihatkan bahwa perempuan kini berada di garis terdepan dalam aksi teror, setidaknya membuat stigma bahwa perempuan dalam organisasi teror hanyalah pajangan semata, tidak lagi berlaku.

Lantas Apa yang Melatarbelakangi Fenomena ini?
Peneliti konflik dan peran gender; Enloe, misalnya, berpendapat dalam karyanya ‘Bananas, Beaches, and Bases’ bahwa militerisasi sejatinya menegakkan tatanan sosial maskulin. Namun, pada saat yang sama, ternyata perempuan jua lah yang mengambil alih peran ‘laki-laki’ tradisional selama perang, seperti bekerja di pabrik militer hingga angkat senjata.

Hal lain yang memicu kesalahpahaman posisi perempuan dalam aksi terorisme adalah masyarakat cenderung tidak nyaman dengan gagasan perempuan menjadi pejuang aktif. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa masyarakat cenderung memandang perempuan sebagai ‘pemberi kehidupan’ daripada ‘pengambil kehidupan’. Efek dominonya kemudian adalah menurut Pakar Terorisme, Cook, hal ini menyebabkan peran perempuan dalam perang dan organisasi teroris tidak diakui secara akurat.

Di Balik Motif Fenomena Perempuan Pelaku Teror
Meskipun perempuan sebenarnya telah aktif dalam pertempuran selama berabad-abad, kaum pria sering menolak gagasan untuk menggunakan perempuan sebagai senjata, apalagi menggunakan tubuh mereka sebagai “alat taktis” aksi teror.

Tapi di satu sisi, kelompok teroris menyadari bahwa “mengumpankan” perempuan sebagai senjata menawarkan keuntungan taktis. Wanita dapat melewati pemeriksaan keamanan dengan lebih mudah, memungkinkan mereka memiliki akses yang lebih baik ke target potensial. Hal ini membuat serangan bunuh diri perempuan seringkali lebih mematikan dibandingkan serangan laki-laki. Serangan yang dilakukan oleh kelompok wanita juga mendapat lebih banyak perhatian media, memberikan jangkauan yang lebih luas kepada kelompok teroris.

Tak heran, Orang Chechen bukan satu-satunya yang mencoba memanfaatkan keunggulan taktis ini. Di zaman modern ini, aksi terorisme lain yang dilakukan oleh perempuan dapat ditemukan di Sri Lanka, Israel dan Palestina, Turki, Nigeria, Rusia, hingga Indonesia.

Dalam sejumlah literatur, pandangan tentang perempuan pelaku bom bunuh diri dan motivasi mereka sangatlah berbeda. Ada anggapan bahwa perempuan pelaku bom bunuh diri adalah ‘perempuan gagal’; mereka adalah janda cerai, mandul, korban perkosaan, atau kehilangan suami, yang berarti mereka tidak dapat memenuhi peran masyarakat yang ditentukan sebagai istri atau ibu.

Kondisi tersebut akhirnya dapat memiliki dua konsekuensi yang menguatkan niat melakukan bom bunuh diri. Pertama, keluhan-keluhan ini dapat menyebabkan perempuan berkomitmen pada tujuan terorisme dan membuat mereka bersedia untuk berpartisipasi dalam serangan bunuh diri.

Kedua, stigma ‘perempuan gagal’ pada pelaku bom bunuh diri, seperti merasa tidak berguna di masyarakat, membuat mereka berguna bagi kelompok teroris. Para wanita ini mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk kembali menjadi layak bagi masyarakat adalah dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Selain itu, karena perempuan hampir tidak pernah ditemukan dalam posisi kepemimpinan, mereka ‘dapat diganti’ ke dalam kelompok dan dengan demikian cocok menjadi pelaku bom bunuh diri.

Namun, perlu diingat juga bahwa tidak semua perempuan teroris bunuh diri adalah ‘perempuan gagal’. Ada juga wanita berpendidikan tinggi, terlibat politik, dan/atau menikah melakukan aksi terorisme bunuh diri. Selain itu, perempuan pelaku bom bunuh diri tidak hanya berasal dari negara-negara non-Barat; Wanita Barat juga melakukan bom bunuh diri, Muriel Degauque misalnya.

Sehingga melakukan generalisasi motif perempuan pelaku teor dengan satu motif saja tidak cukup. Tiap ada kasus baru, perlu ada penyelidikan berkelanjutan bagaimana dan mengapa mereka melakukan aksi tersebut.

TERBARU

Konten Terkait