Salah satu alasan napiter pada akhirnya kembali lagi ke kelompok teroris adalah karena dirinya dan keluarganya teralienasi dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Para napiter mengalami kebingungan pasca menjalani hukuman penjara. Stigma bahwa dirinya adalah teroris terus melekat sehingga tak banyak orang yang mau berinteraksi dengannya. Mereka akan menjadi penyintas jika kembali ke masyarakat.
Apalagi untuk bekerja dengan orang lain, semakin jauh panggang dari api. Dalam kondisi ini, napiter bisa diposisikan sebagai korban. Meskipun sebelumnya ia adalah pelaku, namun setelah menjalani hukuman seharusnya ia mendapatkan haknya kembali sebagai Warga Negara Indoneisa.

Hal ini tentu menjadi masalah bagi pemerintah. Apalagi bagi daerah yang didalamnya terdapat banyak penyintas napiter sebagaimana yang terjadi di Jawa Barat. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT. Terdapat 912 napiter di Indonesia yang tersebar di 10 provinsi. Dimana 20% dari total napiter di Indonesia saat ini berada di Jawa Barat. Menyusul di posisi kedua provinsi Jawa Tengah dan selanjutnya Sulawesi Tengah.
Atas dasar itulah, pada 5 Agustus 2018, didirikanlah Yayasan Keluarga Penyintas. Yayasan ini merupakan sebuah organisasi yang menaungi dan memberikan pelayanan bagi para korban terorisme di Indonesia, termasuk didalamnya adalah pelayanan bagi napiter yang telah selesei menjalankan hukuman.
Kebutuhan Penyintas Terorisme yang Harus Dipenuhi
Penyintas yang saat ini berada di Yayasan Keluarga Penyintas adalah orang-orang yang menjadi korban terorisme di berbagai wilayah. Antara lain; korban bom JW Mariot Hotel Jakarta; korban bom Kuningan Kedutaan Australia; korban bim masjid Az-Zikro Cirebon, korban bom Gereja Keputon Solo; korban penembakan di Poso; kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua Depok; dan korban bom Astana Anyar Bandung.
Adapun beberapa kebutuhan layanan yang disediakan oleh Yayasan Keluarga Penyintar adalah sebagai berikut:
Pertama, layanan medis. Merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Karena para korban aksi terorisme tentunya mengalami luka medis karena mereka berada di lokasi saat kejadian. Maka kebutuhan medis harus tercukupi sebelum memberikan layanan lainnya.
Kedua, layanan psikologi. Para korban tentunya mengalami beban yang berlipat-lipat. Ia dihadapkan dengan rasa trauma, rasa takut, phobia, dan mengalami tekanan ketika mendengar dentuman-dentuman keras. Belum lagi jika dalam peristiwa yang sama, ia harus kehilangan keluarga dan bahkan tak jarang menjadi difabel karena luka cacat medis. Oleh karena itu memberikan layanan psikologis menjadi kebutuhan kedua yang disediakan oleh Yayasan Keluarga Penyintas.
Ketiga, layanan psikososial. Selain terganggu secara psikologis, para korban juga terhambat aksesnya untuk kembali mendapat pekerjaan. Maka Yayasan Keluarga Penyintas memberikan bantuan pelatihan kewirausahaan bagi korban dengan harapan mereka bisa kembali berbaur dengan masyarakat. Tak hanya memberikan pelatihan, mereka juga dibekali dengan bantuan modal untuk mendirikan usaha.
Layanan psikososial lain yang disediakan adalah mengupayakan beasiswa sekolah bagi para korban. baik dari jenjang sekolah dasar hingga Pendidikan tinggi. Tak sedikit korban yang pada akhirnya harus terputus akses pendidikannya. Factor utama yang paling mempengaruhi adalah karena ketidakmampuan para korban untuk membayar biaya sekolah.
Maka Yayasan Keluarga Penyintas mengupayakan keberlanjutan hak Pendidikan bagi para korban. Caranya dengan memberikan beasiswa, sehingga para penyintas bisa tetap mendapatkan hak pendidikannya disamping memulihkan kondisi psikologisnya. Pembauran yang terjadi di sekolah diharapkan mampu memperbaiki masalah psikis yang dialami oleh penyintas.
Negara Harus Mengambil Peran
Negara harusnya hadir dalam proses pendampingan para penyintas. Terlalu focus pada penindakan pelaku hanya akan memposisikan pemeritah sebagai pemadam kebakaran saja. Bertindak hanya jika kasus sudah terjadi, dan meninggalkan penyintas untuk memperjuangkan pemulihannya sendiri.
Negara melalui PP No 35/2020 sebenarnya sudah mengatur hak para korban seperti hak kompensasi, bantuan medis, dan rehabilitasi psikososial dan psikologis bagi para korban. Namun sayangnya, PP tersebut hanya berlaku 3 tahun saja. Padahal masih banyak penyintas yang belum mendapatkan haknya secara maksimal. Kerjasama yang baik antara negara dan juga lembaga yang focus pada pendampingan penyintas tentunya akan berdampak positif pada korban.
Jangan sampai para korban dan penyintas dibiarkan menanggung beban yang berat ini seorang diri. Perlu langkah kongkrit dan tindakan nyata yang berorientasi pada korban. Kita juga perlu organisasi-organisasi yang bergerak untuk memenuhi hak penyintas. Maka keberadaan Yayasan Keluarga Penyintas ini bisa diduplikasi oleh daerah lainnya, terutama daerah-daerah dengan jumlah penyintas yang tinggi.