Suara kentongan terdengar jelas dari luar, pagi itu sekitar kurang lebih jam 07.00 WIB, kebetulan saya sudah siap dan segera bergegas ke luar rumah. Saya melihat pemandangan sangat indah, ternyata semua warga Dusun Krecek sudah berkumpul di sumber suara kentongan. Mereka terlihat anggun dengan pakaian khas Jawa sambil membawa variatif wadah-wadah yang berisi berbagai jenis makanan.
Ternyata suara kentongan tersebut adalah pertanda perjalanan menuju tempat Nyadran Perdamaian akan segera di mulai. Mengapa semua masyarakat sangat exited sekali menyambut tradisi tersebut? Nyadran Perdamaian adalah tradisi yang setiap tahunnya secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk pada hari jumat Kliwon bulan Sya’ban atau Ruwah (kalender Hijriyah dan Jawa).
Setelah semua warga siap, mereka berjalan sejauh kurang lebih satu kilometer menuju pemakaman umum yang menghubungkan Dusun Krecek dan Dusun Gletuk. Di sela-sela perjalanannya mereka saling berbincang akrab, saya melihat wajah ‘Indonesia’ disana, yaa maksudnya ‘berbeda-beda tapi masih satu tujuan’, walaupun mereka berangkat dari latar belakang identitas yang berbeda, tapi masih satu tujuan yaitu mendoakan arwah leluhur.
Akhirnya sampai di tempat Nyadran Perdamaian, saya melihat sekeliling, ada yang mencuri perhatian, yaa makam-makam di sana! Ternyata makam tersebut adalah pemakaman umum yang terdapat ragam identitas agama diantaranya Islam, Budha dan Kristen. Kok bisa mereka merasa tidak masalah menyatukan pemakamannya? Sepengalaman saya, masyarakat di perkampungan itu cenderung intoleransi beragamanya lebih rentan.
Penasaran saya memuncak ketika melihat ritual doa bersama untuk leluhur di sana, umat Muslim dan Budhhis saling bergantian untuk berdoa. Setelah itu mereka menyantap makanan dan saling mencicipi hidangan satu sama lain, saya benar-benar terharu melihatnya.
Selesai acara Nyadran, saya memutuskan untuk ngobrol dengan Bhante Dhammakaru yang memimpin doa umat Buddhis pada saat Nyadran Perdamaian berlangsung. Bhante Dhamma menyambut saya dan teman-teman dengan baik, kami memutuskan untuk berbincang di aula sekolah TK di Dusun Krecek.
“Nyadran ini sudah dilakukan sejak nenek moyang, tapi kita tidak tahu pastinya kapan” ucap Bhante Dhamma. Menurutnya Nyadran itu berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha”yang artinya sebuah keyakinan kuat bahwa kita hidup secara turun temurun dari para leluhur. Jadi Nyadran itu sebagai bakti hormat kita kepada leluhur.
Bhante Dhamma juga menegaskan bahwa ada nilai utama dari Nyadran ini, yaitu nilai spiritual dan nilai sosial. Pertama, dalam nilai spiritual, ada pemahaman tentang hormat bakti yang berkaitan dengan leluhur, bahwa kita ada dan lahir di dunia ini karena pihak lain yaitu leluhur. Sehingga akan menumbuhkan rasa syukur, rasa hormat dan rasa bakti. “Maka kita akan tumbuh dewasa secara bathiniah dan selesai dengan diri dendiri” tegas Bhante Dhamma.
Kedua, nilai sosial, karena acara Nyadran tersebut yang sebelumnya hanya sebatas bentuk hormat bakti, akhirnya membentuk momen kebersamaan, tidak hanya bertemu satu keluarga tapi dua Dusun, bahkan ada dari luar Dusun. Jadi Nyadran ini sebagai bentuk ruang kebersamaan dengan latar belakang yang berbeda-beda, oranng tua, anak-anak, perempuan, laki-laki, bahkan ragama identitas agama.
“Konteks Indonesia, kadang cekcok masalah identitas agama itu banyak, bagaimana Bhante mengedukasi masyarakat sini agar tetap damai di tengah perbedaan?” tanya saya.
“Nah itu, kami sangat bersyukur para leluhur mewarisi tradisi Nyadran ini! Selama ini kita dibesarkan oleh tradisi, sehingga kegiatan masyarakat dominannya adalah kegiatan adat, jadi kehadiran agama dijadikan sebagai pewarna atau penyejuk yang sifatnya sendiri-sendiri,” terang Bhante Dhamma.
“Tidak pernah ada konflik atas nama agama,” sambung Bhante Dhamma. Sebab, masyarakat Dusun krecek dan Gletuk ini terbiasa dengan kegiatan adat seperti gotong royong dan kerjasama. Contohnya saling membantu dalam proses pembuatan rumah warga, musim panen dan bahkan saling membantu membangun rumah ibadah.
Lalu soal alasan mengapa makam disatukan, tidak jauh dari alasan yang sama juga yaitu ‘praktik masyarakat yang dominan lebih ke adat’ maka perbedaan identitas apapun tidak menjadi persoalan, termasuk perbedaan soal agama, jadi penyatukan makam semua agama bukan hal yang sulit bagi mereka. “Bukan hanya saat hidup mereka hidup bersama, bahkan saat meninggal pun” begitulah gambarannya.
“Kita harus berbahagia menjadi bagian dari Indonesia, selain diwariskan dengan berbagai agama kita juga diwariskan adat istiadat setiap daerahnya yang kemudia itulah yang menjadi kekuatan atau pemersatu kita di tengah perbedaabn agama tersebut,” begitu penutup perbincangan saya dengan Bhante Dhamma.
Ternyata hidup damai ditengan keberagaman identitas adalah tradisi Indonesia sesungguhnya. Tentu kita bisa melihatnya dengan jelas di Dusun Krecek dan Dusun Gletuk lewat tradisi Nyadran Perdamaian ini.