Berbicara mengenai perempuan buruh migran dan terorisme, ingatan membawa kita pada sosok Dian Yuliana Novi. Napiter dalam kasus bom bunuh diri yang divonis 7.5 tahun penjara pada Desember 2016. Setelah kejadian yang menimpa Dian ini, BNP2TKI memperkuat pembinaan bagi perempuan buruh migran Indonesia.
Perempuan buruh migran lain yang menjadi napiter adalah Ika Puspita Sari dan Ayu. Pada Desember 2016, buruh migran di Hongkong tersebut terlibat dalam perencanaan bom Bali saat momentum tahun baru. Kajian BNP2TKI di tahun 2017 justru menemukan fakta yang mengejutkan. Sejumlah 45 perempuan buruh migran terlibat dalam gerakan ISIS. Meskipun tak terlibat secara langsung.
![Terorisme dan Kerentanan Perempuan Buruh Migran](https://womenandcve.id/wp-content/uploads/2022/09/TKW.jpg)
Namun, 45 perempuan buruh migran tersebut tercatat aktif menyalurkan dana ke kantong ISIS. Mereka juga merekrut kader secara massif di sosial media. Kejadian tersebut (mungkin) menjadi inspirasi perempuan lain di Indonesia untuk menjadi bomber dan terlibat dalam aksi radikalisme di tahun selanjutnya. Puncaknya, di tahun 2019 dilaporkan adanya 30 kasus terorisme yang melibatkan perempuan baik sebagai support system, maupun sebagai pelaku.
Kenapa Perempuan Buruh Migran Rentan terhadap Terorisme?
Semakin tingginya angka keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme harus menjadi perhatian semua pihak. Terutama berkaitan dengan perempuan buruh migran Indonesia. Keberangkatan mereka untuk mengadu nasib di negeri orang tentunya bukan keputusan mudah baginya. Himpitan ekonomi dan motivasi untuk memperbaiki kehidupan menjadi pertimbangan utama sebelum akhirnya memutuskan tanah air.
Maka keputusan untuk akhirnya terlibat dalam pendanaan gerakan Islam transnasional menjadi sebuah tanda tanya besar. Bukannya mereka berangkat karena masalah perekonomian, lantas kenapa justru menjadi donor untuk gerakan radikal alih-alih untuk memenuhi kebutuhan keluarga di kampung halaman?
Transnasional Mothering
Istilah transnasional mothering ditujukan bagi pekerja migran yang berasal dari negara miskin dan berkembang. Kondisi yang serba susah, menuntut perempuan untuk berpindah ke negara yang diyakini bisa memperbaiki perekonomiannya. Untuk mencapai hal tersebut, perempuan migran harus meninggalkan anak dan keluarga dikampung halaman.
Namun disaat yang sama, perempuan migran Indonesia dibayangi dengan peran peran sosial yang dikonstruk oleh tempat dimana migran berasal. Meskipun ia bekerja, namun peran sebagai ibu tetap melekat pada dirinya. Sehingga perempuan migran tetap dituntut untuk menjalankan peran pengasuhan jarak jauh ditengah beratnya pekerjaan sebagai buruh migran.
Karena berjauhan secara fisik, banyak perempuan buruh migran yang merasa gagal dalam menjalankan peran sebagai ibu. Hingga pada akhirnya berfikir dirinya layak untuk dipoligami. Dengan tujuan, anak-anak yang ditinggalkan tetap mendapatkan pengasuhan dari seorang ibu. Merelakan suami mencari istri baru menjadi solusi, dengan dalih agar terhindar dari zina dan untuk pengasuhan anak.
Perempuan buruh migran mengalami beban peran ganda. Dituntut untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga. Dan disatu sisi terus dibayangi dengan peran pengasuhan anak sebagai seorang ibu. Sehingga ia berada dalam keadaan bimbang dan penuh kebingungan. Kondisi perempuan yang tidak stabil ini menjadi jalan masuknya ideologi radikal dan ekstrimis.
Intensitas pertemuan antara sesama perempuan buruh migran menguatkan antara satu dengan yang lain dalam bentuk komunitas. Dalam komunitas seperti inilah, narasi ekstrimis yang dibalut dengan teks keagamaan literalis menjadi “penenang” ditengah kejumudan kehidupan yang dijalani perempuan buruh migran.
Manipulasi rasa bersalah karena tidak bisa menjalankan peran sebagai ibu juga menjadi salah satu alasan penguat kenapa perempuan buruh migran memutuskan untuk tergabung dengan komunitas. Dalam komunitas inipula, moralitas perempuan buruh migran sebagai seorang muslim dipertaruhkan. Mereka terus dibayangi dengan narasi perjuangan untuk agama sebagai pengganti ketidakmampuan mereka dalam menjalankan peran keibuan.
Cerita-cerita penganiayaan muslim di berbagai negara seperti Palestina dan Rohingnya menjadi mesin pembakar perjuangan. Untuk menutupi kesalahan karena tidak bisa menjalankan peran ibu, mereka diarahkan untuk menjadi pendonor bagi muslim yang mendapatkan penganiayaan. Manipulasi rasa bersalah inilah yang mendorong mereka terlibat dalam pendanaan gerakan radikal.
Cara untuk menebus kesalahan karena tidak bisa mengasuh anak secara langsung, adalah dengan memberikan pendanaan bagi keluarga muslim lain. Tanpa tahu secara pasti, kemana sebenarnya arah bantuan dialirkan. Yang mereka tahu adalah doktrin bahwa dengan menjadi donor akan mengurangi dosa mereka karena tidak menjalankan peran sebagai ibu.