29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Afghanistan, Bisakah Jadi Pelajaran Indonesia?

Semenjak Agustus 2021, Taliban berhasil merebut kembali pemerintahan Afghanistan dari penguasaan Amerika. Semenjak itu pulalah, berbagai pemberitaan terus mewarnai media internasional. Bukan karena keberhasilannya dalam menegakkan khilafah sebagaimana dicitakan oleh Taliban. Namun pemberitaan atas perlakuan diskriminatif dan tidak manusiawi yang dilakukan Taliban dengan dalih menegakkan syariat Islam.

Para perempuan Afghanistan dirampas hak nya untuk bisa berpartisipasi di ruang publik. Tak hanya itu, semenjak Maret 2022 perempuan juga dilarang untuk menuntut ilmu di bangku sekolah. Pakainnya pun diatur dengan alasan agar perempuan tidak memancing syahwat lelaki. Belum lagi hukuman fisik yang setiap saat mengintai perempuan yang melanggar aturan-aturan sepihak dari pemerintahan Taliban tersebut.

Saat proses perebutan Afghanistan (2021), kekhilafahan Taliban juga memberengus etnis Hazara Afghanistan yang tidak menganut agama Islam. Dengan merujuk system peperangan sebagaimana dianut kekhilafahan di masa sahabat dan dynasty, mereka menghalalkan darah non muslim. Teror terhadap etnis non muslim di Afghanistan tersebut sebagai bukti superioritas kekhilafahan Taliban atas agama minoritas. Sebagaimana kafir dhimmi dibawah penguasaan muslim.

Anak-anak juga merasakan penderitaan yang tak kalah mengenaskan. Data ini didapat dari laporan Amnesty Internasional pada tahun 2022. Sebanyak 9,2 juta anak tercatat menderita kekurangan gizi. Tracficking, perkawinan anak, eksploitasi anak-anak untuk bekerja menjadi solusi akhir demi menyambung nyawa demi bertahan hidup.

Kekhilafahan Taliban, Berlindung Atas Nama Tuhan
Dunia tak tinggal diam, perlakuan diskriminatif kekhilafahan Taliban menuai banyak kritik dan kontroversi. PBB melalui Dewan HAM PBB menyampaikan kritik atas perlakuan tidak manusiawi Taliban pada 12 September 2022. Namun Taliban secara tegas membantah seluruh data yang dirilis oleh Dewan HAM PBB tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Zabihullah Mujahid di twitter. Ia menyatakan bahwa laporan Dewan HAM PBB tidak sesuai dengan keadaan yang ada di Afghanistan.

Pihaknya menyatakan bahwa aturan berkaitan dengan penggunaan busana bagi perempuan adalah sebagaimana diatur dalam syariat. Tidak ada pelanggaran HAM bagi perempuan karena menutup aurat adalah sebuah kewajiban. Adapun kekhilafah Taliban hanya membantu kaum perempuan untuk menjalankan syariah Tuhan.

Demikian pula dengan larangan perempuan bekerja di wilayah public, dikhawatirkan justru memunculkan banyak madharat karena perempuan bisa memunculkan fitnah. Sehingga kekhilafah Taliban menolak keras tuduhan perlakuan diskriminatif kepada perempuan. Pihak Taliban meyakini kebijakan mereka atas perempuan sesuai dengan aturan sebagaimana ditulis dalam al-Quran dan Hadits.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap etnis Hazara, kekhilafahan Taliban menyatakan kematian seseorang adalah hal yang lumrah saat berada dalam situasi perang. Banyaknya korban jiwa dari etnis Hazara adalah sebuah konsekwensi dari konflik, bukan karena diskriminasi terhadap minoritas. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada berbagai peperangan di masa Rasulullah, sahabat, dan dinasti keislaman. Bahwa korban jiwa adalah keadaan yang tidak bisa dihindarkan dalam situasi perang tersebut.

Lantas Kekhalifahan Apa yang Diinginkan Indonesia?
Berakhirnya kekhilafahan Islam dalam sejarah dunia bersamaan dengan keruntuhan Turki Utsmani di abad ke-18. Salah satunya disebabkan oleh internal pemerintahan Turki Utsmani yang lebih banyak meromantisasi pencapaian khalifah di masa sebelumnya. Naasnya, romantisasi tersebut justru dilakukan ditengah perang dunia 1 yang sedang bergemuruh.

Alih-alih menyiapkan strategi perang yang bagus, para khalifah lebih senang memakai dan menampilkan jubah kebesaran Muhammad al-Fatih untuk menunjukkan kejayaan yang pernah dicapai Islam dimasa lalu. Romantisasi ini yang menyebabkan stagnasi pada pemerintahan Turki. Ketidaksiapan para khalifah untuk menjadi pemimpin tunggal dalam Islam sebagaimana di masa Rasulullah dan sahabat membawa Turki menjadi negara sekuler.

Demikianpula dengan yang terjadi pada kekhilafahan Taliban di Afghanistan saat ini. Alih-alih menerapkan system pemerintahan yang adil gender, mengedepankan kemanusiaan, dan mengangkat harkat dan kartabat manusia. Para pemimpin yang mengaku membawa misi keislaman tersebut justru melegitimisasi perlakuan diskriminatifnya atas nama agama. Seolah kekerasan, subordinasi, dan kebijakan yang tidak manusiawi tersebut adalah bagian dari penegakan syariat Islam.

Nabi Muhammad membangun system pemeritahan yang egaliter, menghindari kontak senjata dan mengedepankan musyawarah. Pun jika angkat senjata adalah solusi paling akhir, beliau hanya akan menempuh langkah yang sama jika musuh sudah berada di depan mata. Nabi juga tidak pernah menjadikan system pemerintahan khilafah sebagai bentuk pemerintahan tunggal yang harus diterapkan di masa setelahnya.

Maka penerapan system kekhilafah yang saat ini diterapkan di Afghanistan, harusnya menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bahwa yang paling penting dalam menjalankan sebuah pemerintahan adalah memperbaiki human resource nya. Apapun system pemerintahan yang digunakan, menjadi sia-sia jika diduduki oleh pejabat yang otoriter, tidak manusiawi dan tidak memiliki daya juang untuk kemajuan agama dan negara.

Afghanistan juga contoh nyata, bahwa system pemerintahan yang membawa embel-embel Islam sekalipun, belum tentu sejalan dengan misi yang dibangun. Karena yang diutamakan dalam sebuah system bukanlah nama dan istilahnya, namun nilai dan penerapannya yang harus sejalan dengan misi Islam rahmatan lilalamin. Baik itu dalam bentuk republic, kerajaan, persemakmuran, dan bentuk pemerintahan lainnya.

TERBARU

Konten Terkait