29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Praktik Honor Killing di Afghanistan

‘Honor killing’ merupakan praktik pembunuhan salah satu anggota keluarga dengan cara memukul, menusuk, merajam, menembak atau yang lain karena dinilai membawa aib dan merusak kehormatan keluarga atau kelompok. Dalam praktik ini, perempuan sering menjadi sasaran atau korban. Sebab asal muasal dari honor killing ini berkenaan dengan budaya, bahkan agama.

Praktik semacam ini di Afghanistan sangat kuat. Dominasi laki-laki di ranah privat tercermin dengan keberadaan perempuan yang dianggap hanya sebagai simbolis honor atau kehormatan dalam keluarga. Posisi ini menjadi bumerang bagi perempuan apabila tidak bisa menjaga kehormatannya. Dalam ranah publik, adat dan praktik agama, masyarakat cenderung mengabaikan hak asasi perempuan sehingga memicu mengakarnya praktik ‘honor killing’ di Afghanistan.

Afghanistan memiliki berbagai norma sosial budaya yang melegitimasi honor killing. Norma sosial budaya yang berkembangan di Afghanistan, sama sekali tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk hidup selayaknya manusia. terjadinya kekerasan kultural menjadi masalah yang memperkuat eksistensi dominasi laki-laki.

Keberadaan Taliban Memperkuat Honor Killing
Kehadiran Taliban yang kembali berkuasa sejak tanggal 14 Agustus 2021 silam, memperkuat kekerasan struktural yang dialami oleh perempuan di Afghanistan. Mengapa demikian? Sebab Taliban menetapkan kebijakan yang sangat tidak ramah terhadap perempuan. Ada beberapa kebijakan yang tidak ramah terhadap perempuan, di antaranya:

Pertama, perempuan boleh ke pasar namun harus ditemani oleh mahram atau laki-laki dari anggota keluarganya. Kedua, perempuan belum boleh bertemu laki-laki di atas 12 tahun yang bukan anggota keluarganya. Ketiga, perempuan hanya boleh mendapatkan pendidikan di sekolah khusus perempuan, bukan sekolah umum, serta hanya boleh diajar oleh guru perempuan.

Keempat, perempuan tidak boleh menggunakan make-up, cat kuku ataupun kutek. Tidak hanya itu, para perempuan tidak diperkenankan untuk menggunakan hak sepatu tinggi agar tidak terdengar langkah kakinya oleh lawan jenis. Kelima, perempuan tidak boleh bekerja di ruang publik. Kebijakan tersebut dibantah oleh Taliban.

Meskipun demikian, berdasarkan sejumlah laporan menyebut perempuan Afghanistan yang bekerja di ruang publik seperti perbankan, PNS, dikawal oleh Taliban saat pulang ke rumah. Hal ini tentu membuat sangat tidak nyaman dan berpengaruh terhadap keamanaan perempuan itu sendiri.

Keenam, perempuan wajib menggunakan burqa agar tidak memamerkan kecantikannya. Apalagi ketika berinteraksi dengan lawan jenis di luar rumah. Kewajiban ini akan menghambat perempuan yang bekerja menjadi jurnalis, penyiar TV ataupun pekerjaan lain yang mengharuskan perempuan berinteraksi kepada publik.

Ketujuh, perempuan harus berbicara dengan suara pelan, apalagi ketika berada di tempat umum. Bahkan, para perempuan tidak boleh menjadi model produk, ataupun tidak boleh ada di sampul buku dan poster apapun. Kedelapan, perempuan diizinkan untuk menggunakan gamis dan niqab ketika belajar di perkuliahan. Kondisi kelas di perkuliahan harus dipisahkan jenis kelamin, atau setidaknya dihalangi dengan tirai.
Keberadaan Taliban dengan kebijakan yang memperkuat budaya patriarki dan mematikan perempuan, menjadi alasan bahwa praktik ‘honor killing’ yang terjadi di Afghanistan terus mengakar.

Jika Indonesia Dipimpin oleh Khilafah, Bagaimana Nasib Perempuan?
Tidak bisa dipungkiri bahwa, wacana tentang bangkitnya khilafah di Indonesia mulai menguat. Apalagi ketika memasuki tahun politik tahun 2024, para aktivis khilafah sepertinya memiliki amunisi cukup kuat untuk melaksanakan segala bentuk strategi yang sudah dimiliki. Politik identitas atas nama agama tidak terbendung.

Apalagi dengan mudahnya media sosial sebagai ruang kampanye, semakin membuka ruang bagi para aktivis khilafah untuk mempromosikan negara Islam. Lihat saja misalnya di media sosial. Para aktivis khilafah secara terang-terangan melakukan propaganda di media sosial, mulai dari instagram, youtube dan media sosial lainnya.

Melihat perjuangan mereka, kita perlu berpikir kritis untuk lebih memahami secara jauh apabila Indonesia menerapkan negara khilafah. Bukan karena kita menolak kembali ke syariat. Akan tetapi, kembali ke syariat versi aktivis khilafah bukan memperbaiki diri, justru berkoar-koar untuk meruntuhkan Indonesia melalui pemerintaahan Islam. Tidak hanya itu, jika khilafah pasti diterapkan di Indonesia, bagaimana nasib perempuan Indonesia?

Para pejuang kesetaraan gender, yang berupaya untuk melakukan segala bentuk advokasi, pendidikan, bimbingan dan segala upaya untuk mewujudkan lingkungan yang adil dan setara. Serta melakukan upaya untuk mendobrak budaya patriarki, akan dihancurkan oleh para aktivis khilafah yang akan mendirikan negara Islam di Indonesia. Maka membantu untuk mendirikan negara khilafah, berarti membawa gerakan perempuan mundur ke belakang, bahkan menjerumuskan perempuan dalam jurang. Wallahu a’lam.

TERBARU

Konten Terkait