Berdasarkan data yang dirilis oleh BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), terdapat 5.222 pekerja migran Indonesia di tahun 2021. Dimana 4.530 dari total tersebut, atau 87% nya adalah perempuan. Minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia, dan tersedianya lapangan pekerjaan non terampil di luar negeri menarik minat masyarakat untuk menjadi buruh migran. Apalagi gaji yang ditawarkan relative lebih tinggi dibanding dengan tenaga non terampil di Indonesia.
Namun sayangnya, tak sedikit dari perempuan buruh migran yang justru terlibat dalam organisasi transnasional. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan awal kenapa mereka memutuskan untuk berangkat ke negeri jiran. Alih-alih mengirim uang ke kampung halaman, beberapa uang buruh migran justru mengalir ke organisasi ekstrimis.
Lantas apa yang menyebabkan perempuan buruh migran terlibat dalam kelompok radikal? Dijelaskan dalam artikel sebelumnya, bahwa transnasional mothering menjadi salah satu alasan. Perasaan dimana mereka dihantui rasa bersalah karena tidak bisa menjalankan peran sebagai ibu dalam pengasuhan anak.
Rasa bersalah tersebut ditutup dengan mendanai keluarga muslim yang sedang dianiaya seperti muslim Palestina dan Rohingnya. Meskipun mereka tidak tahu apakah benar aliran dana tersebut sampai ke muslim Palestina dan Rohingnya, ataukah dikelola untuk kepentingan lain. Adapun alasan-alasan lain berkaitan dengan keterlibatan perempuan buruh migran akan diulas dalam artikel ini.
Buruh Migran Merasa Tereksploitasi
Salah satu alasan yang membawa perempuan memutuskan menjadi buruh migran adalah karena ketidaktersediaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Ada banyak hal yang harus dikorbankan, salah satunya adalah hidup berjauhan dengan keluarga. Di satu sisi, negara mendapatkan keuntungan yang melimpah dengan adanya buruh migran.
Airlangga Hartanto selaku Menteri Koordinatir Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa sumbangan buruh migran mencapai Rp.159,7 trilyun setiap tahunnya. Buruh migran “terpaksa” mengadu nasib di negeri orang karena negara tidak mengakomodir kebutuhannya, namun negara justru menerima manfaat dari para buruh migran tersebut.
Hal inilah yang kemudian memunculkan perasaan tereksploitasi, hingga muncul kebencian pada tanah air. Salah satu pelampiasan kekecewaan terhadap negara dilakukan dengan menyokong pendanaan aksi terorisme di Indonesia. Seperti yang dilakukan Ika Puspitasari yang mendanai rencana Bom Bali menjelang tahun baru 2017. Sebelumnya, Ika Puspitasari adalah perempuan buruh migran yang mengadu nasib di Hongkong. Dari total 8 juta gaji sebulan, Ika hanya mengambil 1 juta. Sedangkan sisanya dialirkan ke pendanaan terorisme.
Heroisme of Neglecked Women
Di lingkungan patriarki, perempuan berada dalam posisi masyarakat kelas dua. Dirinya berada di bawah kekuasaan ayah sebelum menikah, dan berada di bawah kekuasaan suaminya setelah menikah. Karena menduduki posisi sebagai masyarakat kelas dua, maka kediriannya sebagai manusia masih dipertanyakan.
Pun demikian dengan narasi fikih literalis, dan pemahaman teks agama yang bias gender masih banyak digunakan. Meskipun sudah banyak penafsiran teks agama yang adil gender dan mengakomodir seluruh kebutuhan manusia baik laki-laki maupun perempuan. Namun nyatanya, penafsiran yang misoginis masih banyak disebarkan dan dipahami sebagai sebuah kebenaran tunggal.
Keadaan ini diperparah dengan manipulasi rasa bersalah karena ketidakmampuan perempuan buruh migran untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu. Maka ia merasa diabaikan dan merasa dirinya tidak berguna. Keadaan ini semakin memburuk saat perempuan buruh migran tersebut tidak memiliki akses kepada ilmu pengetahuan. Pada masa inilah, ideologi radikal yang mengukur kebermanfaatan manusia dengan cara-cara ekstrimis dimasukkan kedalam pola pikirnya.
Untuk mendapatkan pengakuan dan agar hidupnya bermakna ditengah kekecewaan yang menghantui, keberanian untuk menjadi seorang bomber dipertaruhkan. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Ika Puspitasari. Gelontoran dana yang dialirkan Ika ke jaringan Abdulah Azzam ternyata belum berhasil mendapatkan pengakuan. Padahal keterlibatannya dalam pendanaan tersebut sudah diketahui oleh BNPT sehingga menjadikannya DPO.
Karena loyalitasnya terhadap jaringan belum juga diakui, perempuan buruh migran di Hongkong ini pada akhirnya memutuskan menjadi bagian dari perencanaan penyerangan ke markas Syiah di Bandung. Dengan menjalankan amaliyah (pelaku) pengeboman, mereka merasa kehidupannya lebih bermakna dan lebih diakui militansinya.
Dari berbagai factor sebagaimana disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan buruh migran dalam aksi terorisme juga disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang tidak adil gender. Normalisasi diskriminasi pada perempuan, minimnya akses pendidikan, dan doktrin domestikasi telah menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.
Akibatnya, mereka membutuhkan komunitas dimana dirinya merasa diterima dan bermakna. Salah satunya dengan cara terlibat pada jaringan terorisme baik dari segi pendanaan maupun doktrinasi untuk menjadi pelaku. Dengan berada di komunitas tersebut, keberadaannya diakui dan mereka merasa menjadi perempuan yang bermakna meskipun dengan cara yang salah.