Dalam sebuah novel yang ditulis oleh Woro Januarti berjudul, “Di Balik Dinding Penampungan (Kisah Nyata Tenaga Kerja Perempuan di Luar Negeri), mencerminkan sebagian kecil kisah kehidupan para buruh migran di tempat penampungan yang cukup memprihatinkan. Nasib buruh yang diperas oleh para pegawai di tempat penampungan, tidak mendapat tempat dan perlakuan yang layak, menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua untuk memperjuangkan nasib mereka menjadi lebih baik. Apalagi bagi pekerja migran perempuan, rentan sekali mendapatkan perlakukan yang tidak baik bahkan dilecehkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa, menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan hak asasi manusia yang harus dijaga, dihormati dan dijamin kebebasannya. Mereka menjadi bagian penting tenaga kerja nasional. Menurut data dari BP2MI, jumlah PMI tahun 2022 sampai dengan bulan Juli tercatat 80.099 orang terdiri dari 30.477 pekerja migran laki-laki dan 49.622 pekerja migran perempuan.
Berdasarkan di atas, dapat dipahami bahwa pekerja migran perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. banyaknya data tersebut, menjadikan pekerja migran perempuan sebagai target korban kejahatan lintas negara atau kejahatan internasional yang terorganisir (international organized-crime) dengan menggunakan perspektif gender.
Salah satu fenomena yang muncul dalam temuan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) adalah adanya paparan ideologi ekstremisme kekerasan atas nama agama terhadap komunitas perempuan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Fenomena keterlibatan perempuan pekerja migran dalam berbagai kejahatan internasional ini akan semakin menyudutkan posisi perempuan pekerja migran yang telah tersubordinasi, menjadi rentan terhadap stigma negatif.
Beberapa tokoh buruh migran yang dikenal sebagai perempuan terpapar terorisme adalah Anggi Indah Mulia, Dian Yulia Novi dan Tutin Sugiarti. Ketiga perempuan ini adalah pendukung ISIS yang memiliki latar belakang sebagai pekerja migran di Hongkong, Dian sebagai pekerja migran di Taiwan sedangkan Tutin membantu Dian dalam aksi bom bunuh diri.
Ketiga perempuan tersebut juga terlibat aktif di media sosial untuk mengkampanyekan aksi terorisme yang dilakukan. Pertanyaan yang sering muncul ketika melihat kerentanan perempuan dalam terorisme adalah, mengapa mereka terlibat dalam lingkaran terorisme?
Perempuan terlibat dalam jaringan terorisme dikarenakan beberapa faktor, di antaranya: Pertama, adanya penangkapan yang dilakukan kepada sanak saudara, ataupun keluarga dekat terhadap kasus terorisme, yang membuat dendam keoada aparat. Hal ini bisa terjadi kepada anak-anak napiter yang mengalami trauma atas penangkapan yang terjadi, sehingga timbul rasa dendam.
Kedua, kondisi perekonomian perempuan dalam sebuah keluarga. Apabila suami napiter kekurangan, ditambah dengan tidak ada yang memperhatikan si istri. Akan berakibat pada perempuan tersebut ingin mati mengikuti jejak suaminya untuk melakukan bom bunuh diri agar bisa bertemu dengan suaminya di surga. Kondisi ini juga dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk mengambil kesempatan dalam kondisi keterdesakan.
Ketiga, apabila seorang suami, yang dianggap kepala rumah tangga menjadi teroris, ia akan menjadi idola dalam sebuah keluarga. Disinilah ibu berperan untuk mentransformasikan pengetahuan tentang sosok ayahnya yang luar biasa kepada sang anak.
Dalam konteks pekerja migran perempuan yang terlibat dalam terorisme, mereka adalah orang-orang yang terpisah dari keluarganya. Tinggal jauh di negeri orang yang secara budaya, agama, sangat berbeda dengan tempat asal. Ada rasa kehausan dalam diri untuk meningkatkan spiritualitas yang banyak hilang karena pindah ke daerah yang tidak diketahui. Salah satu cara untuk meningkatkan spiritualitas yakni bisa melalui media sosial.
Konsumsi pengetahuan agama di media sosial, menjadi salah satu jembatan ataupun pintu bagi para pekerja migran perempuan untuk melepas dahaga dari kehausan spiritual tersebut. Keterlibatan para buruh migran dalam jaringan terorisme bersumber dari propaganda ISIS melalui berbagai media khususnya media sosial seperti instagram, facebook, dan telegram.
Bergabungnya para pekerja migran perempuan dalam jaringan terorisme, menunjukkan keberhasilan propaganda yang dilakukan oleh ISIS di media sosial. para pekerja migran perempuan dengan sadar dan suka rela masuk dalam jaringan terorisme dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan personal hingga alasan dari luar (eksternal).
Kerentanan pekerja migran perempuan menjadi terlibat dalam jaringan teroris, adalah satu dari sekian masalah pekerja migran perempuan di Indonesia. Pemerintah perlu melakukan upaya lebih ketat untuk melakukan advokasi, pendampingan kepada para pekerja migran supaya lebih selektif dalam menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan daerah asalnya. Kehausan spiritual yang akan dialami oleh para pekerja migran harus diimbangi dengan literasi yang baik, supaya bisa memilih pengajian seperti apa yang layak ditonton atau yang tidak. Wallahu a’lam.