Pandemi dan Meningkatnya Kemiskinan di Asia Tengah
Pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu tidak hanya membatasi pergerakan individu di seluruh dunia. Namun juga memicu krisis nyata dalam perang melawan kemiskinan global. Bahkan dampak negatif yang ditimbulkan diperkirakan setara dengan kemunduran terbesar sejak Perang Dunia II usai.
Hal ini ditandai oleh begitu banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang hingga kini masih tertatih-tatih dalam memulihkan kondisi ekonominya. Terutama bagi negara dengan tunggakan hutang tinggi, sebagian besar negara tersebut mengeluhkan bahwa efek negatif pandemi masih saja menghantui mereka yang akhirnya menghambat pemulihan di segala bidang. Di saat yang sama, kenaikan harga makanan dan energi sudah di depan mata-yang sebagian juga didorong oleh invasi federasi Rusia terhadap Ukraina serta dampak perubahan iklim yang membuat negara-negara produsen makanan.
Krisis ini mau tidak mau memperlebar kembali jurang kemiskinan dunia yang kini semakin jauh dari target PBB yang hendak mengakhiri tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Dengan kata lain, tahun 2020 ketika pandemi mulai menyerang dunia bisa dianggap sebagai titik balik bersejarah, di mana para kelompok rentan yang awalnya telah memperbaiki kondisi ekonomi mereka, sekarang harus dipukul balik oleh krisis pangan hingga energi.
Dan, setelah tiga tahun berselang, kondisi mereka sepertinya tak lebih baik. Berbeda dengan orang-orang terkaya telah pulih dari pandemi dengan kecepatan yang lebih cepat, kaum papa justru sebaliknya, mereka kian terpuruk akibat efek domino dari pandemi. Jurang kesenjangan ekonomi inilah yang kemudian mendorong banyak warga memilih untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka yang hanya sedikit menawarkan pekerjaan ke negara-negara maju seperti Eropa atau Rusia, untuk mencari sesuap nasi demi kehidupan lebih baik.
Migrasi Warga Asia Tengah dan Ancaman Radikalisme
Fenomena tersebut terjadi di sejumlah negara, seperti di wilayah Asia Tengah. Warga negara Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, and Turkmenistan mulai banyak yang meninggalkan tanah leluhur mereka untuk mencari pekerjaan di Benua Eropa dan Rusia. Sayangnya, dengan latar belakang budaya yang mencolok, sejumlah imigran yang sedang dalam proses pencarian jati diri akhirnya terjebak oleh rayuan kelompok ekstremis dengan iming-iming kehidupan surgawi.
Selain karena kurangnya pendalaman agama secara komprehensif, perlakuan diskriminatif oleh warga lokal membuat migran dari Asia Tengah memendam rasa sakit hati. Belum lagi persoalan tebang pilih dalam pembagian tugas saat bekerja, hal ini semakin menguatkan benih radikalisme yang ditanamkan oleh oknum-oknum kelompok ektremis.
Ditambah lagi, sebagian besar pemuka agama di sana menganut ideologi agama yang kurang toleran dengan budaya di Eropa dan Rusia. Secara rinci, ideologi Salafisme radikal amat populer di Kazakhstan barat dan Kyrgyzstan, Wahhabisme di Lembah Fergana dan Hizb-ut-Tahir di Uzbekistan dan Tajikistan. Meski begitu, di Kyrgyzstan, tetap ada kekhawatiran yang berkembang bahwa ke depan jika ideologi tersebut dibiarkan tanpa diimbangi oleh pemikiran moderat, situasi ini akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis yang menggunakan label agama sebagai kedok mereka beraksi.
Dari situasi tersebut, tidak hanya muncul kebutuhan mendesak untuk mengatasi akar semakin populernya ide-ide Salafi ekstrem di kalangan anak muda. Namun, muncul keperluan untuk mengintegrasikan komunitas pendatang dengan warga lokal. Dan mengandalkan komunitas agama saja tidak lah cukup.
Pemerintah, dalam hal ini representasi warga di wilayah Asia Tengah juga harus mengakomodir kebutuhan pendidikan agama yang komprehensif bagi anak-anak muda. Ceramah-ceramah moderasi beragama jangan hanya terkotak-kotak di masjid, tapi perlu disebarluaskan melaui media sosial dengan menggandeng pemuka agama yang berperspektif netral, tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri.
Terlebih kawasan Asia Tengah dihadapkan oleh berbagai permasalahan sosial yang kini sedang melanda komunitas Muslim mereka, diantaranya yaitu: merosotnya wibawa tokoh dan lembaga agama tradisional, melemahnya ikatan keluarga akibat migrasi, dan terbatasnya kapasitas orangtua, terutama ibu untuk persoalan parenting khususnya di area pedesaan.
Bagaimana Radikalisasi terjadi?
Biasanya, radikalisasi terjadi di Rusia atau negara tujuan para migran. Kelompok rentan termasuk remaja terasing, yang tidak memiliki dukungan sosial atau komunitas. Hanya memiliki tingkat pendidikan agama yang rendah menjadi target utama dari kelompok radikal. Kelompok rentan lainnya yaitu wanita yang bercerai dan terlantar, serta anak-anak yatim piatu, yang biasanya kemudian didekati untuk kemudian diajak diskusi panjang lebar.
Setelah menjadi “ruang aman” bagi individu-individu rentan ini, mereka mulai menggencarkan fondasi ekstremisme dengan balutan agama. Dan voila.. satu per satu dari mereka terpedaya tanpa menyadari bahaya dibalik ideologi baru yang mereka percayai. Dengan situasi yang ada, potensi radikalisme para migran Asia Tengah akan terus tumbuh, terlebih selama ini pihak-pihak yang bertanggungjawab baik di negara asal maupun tujuan migran masih menutup mata. Harapannya, sebelum bom waktu meledak, ada upaya preventif yang diimplementasikan sebelum dampak buruknya terlanjur terjadi.