30 Januari 2023, sebuah bom bunuh diri menawaskan kurang lebih 100 korban di Peshawar Pakistan. Anehnya, tindakan anarkis tersebut justru terjadi di sebuah komplek kantor polisi yang didalamnya terdapat markas polisi, biro intelejen, dan pasukan kontra-terorisme yang dijaga dengan sangat ketat. Yang lebih diluar nalar, pengeboman tersebut juga terjadi di sebuah masjid, tepat saat ratusan anggota polisi Pakistan sedang menunaikan ibadah sholat dhuhur.
Pakistan saat ini memasuki fase yang mencekam. Terlebih setelah Taliban Pakistan menghentikan genjatan senjata pada November 2022. Sejak saat itu, penyerangan terhadap kelompok polisi dan tentara semakin digencarkan. Tujuan penyerangan terhadap polisi dan tentara tersebut tak lain agar tak ada lagi kelompok bersenjata yang melawan kelompok militan. Sekaligus untuk menimbulkan rasa takut bagi siapapun yang ingin melawan kelompok militan.
Dengan tewasnya 100 korban yang mayoritas adalah pasukan polisi Pakistan, artinya ada 100 istri dan ratusan anak yang turut menjadi korban. Para istri dan anak tersebut tidak tahu menahu tentang apa yang sedang dihadapi Negara berkaitan dengan gerakan ekstrimisme. Namun mereka harus menanggung pahitnya kehilangan anggota keluarga dengan cara mengenaskan.
Ketidaktahuan tersebut disebabkan karena minimnya pelibatan perempuan dalam pencegahan, perlindungan dan penanganan tindakan terorisme dan ekstrimisme. Saat ini, konflik di Pakistan masih ditangani dan dicegah dengan pendekatan maskulinitas. Perempuan sesuai dengan konstruk Taliban, memiliki nilai tawar yang rendah dan diposisikan untuk menempati peran peran domestic.
Karena perempuan hanya diposisikan sebagai masyarakat kelas dua, maka ia juga tidak diberi akses untuk mengikuti program-program peningkatan kapasitas. Sehingga ruang-ruang strategis tidak mampu diraih oleh perempuan. Begitu juga dengan ruang diskusi, dan berjejaring. Padahal saat tindakan ekstrimisme dan terorisme terjadi, perempuan juga menjadi korban.
Sebagai bentuk pencegahan tindakan ekstrimisme di masa mendatang, pemerintah Pakistan harus mulai mengatur ulang strategi, Mulai dari pencegahan tindakan terorisme dan perlindungan bagi korban. Pencegahan tak cukup hanya dengan pendekatan militeristik semata, namun juga harus menggunakan pendekatan yang lain.
Dimulai Dengan Melibatkan Perempuan
Meskipun hingga saat ini pelaku pengeboman di Peshawar Pakistan belum diketahui, namun banyak pengamat yang meyakini keterlibatan Taliban dalam peristiwa ini. Khususnya pada Tehrik Taliban Pakistan (TTP), kelompok yang secara tegas menyatakan memusuhi anggota militer Pakistan. Adapun TTP sendiri adalah salah satu cabang dari gerakan Taliban yang berada di Pakistan.
Seperti diketahui bahwa nasib perempuan semakin tragis di bawah kekuasaan Taliban. Perempuan dijadikan sebagai pelengkap keberadaan laki-laki dan tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan politik. Hal ini tentu berdampak sangat besar bagi penegakan demokrasi di Afghanistan. Sebagai negara yang terletak berdampingan, Pakistan termasuk salah satu negara yang menolak kehadiran Taliban di Afghanistan.
Melihat bagaimana masifnya tindakan ekstrimis pasukan Taliban dan bagaimana mereka menempatkan perempuan, pemerintah Pakistan harus menyusun strategi baru untuk pencegahan. Salah satunya dengan menempatkan perempuan sebagai pegiat perdamaian (women human right defender). Dengan meletakkan perempuan sebagai salah satu agen perdamaian di Pakistan, diharapkan pihak Taliban juga menjadikan langkah tersebut sebagai salah satu percontohan untuk diterapkan di Taliban.
Untuk mengkader dan membentuk perempuan sebagai pegiat perdamaian (women human right defender), tentu perempuan harus diberi akses ke wilayah publik. Selain itu, ia juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Sebagai pegiat perdamaian, perempuan tak hanya berperan sebagai pencegah konflik namun bisa menjaga situasi menjadi kondusif.
Selain itu, perempuan juga bisa mengoptimalkan peringatan dini (early warning system) bagi tindakan ekstrimisme dan terorisme. Sebelum konflik meningkat di masa mendatang, perempuan harus dilibatkan dan diberi akses kepada pengetahuan. Sehingga perempuan mengetahui dinamika politik yang saat ini terjadi Pakistan. Dengan begitu, perempuan bisa mengambil sikap dan memasifkan upaya pencegahan tindakan ekstrimisme dengan memberikan bekal kepada anak-anak yang berada di bawah pengasuhannya.
Ketidaktahuan perempuan terhadap kondisi yang saat ini dihadapi negara khususnya Pakistan, akan terus menempatkan perempuan sebagai korban. Korban atas kebijakan dan korban atas perlakuan yang diskriminatif karena diputusnya akses pengetahuan. Karena posisi perempuan sebagai korban tidak terpulihkan, maka berpotensi menjadi pelaku yang akan mengkader anak-anaknya untuk menjadi pelaku tindakan ektsrimisme. Dampaknya, konflik dan perang akan terus berulang. Bahkan bisa dijadikan sarana untuk membalas dendam atas kematian anggota keluarganya.