29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Bagaimana Teroris Memanfaatkan Teknologi Keuangan?

Teknologi dan Pendanaan Terorisme
Perkembangan teknologi dalam beberapa aspek memang memudahkan tiap sisi kehidupan manusia. Namun, jika ditilik dari perpektif ancaman keamanan dan isu terorisme. Ada kekhawatiran besar bahwa teknologi online yang terus mendatangkan inovasi akan menghadirkan tantangan terhadap pengawasan pendanaan terorisme.

Terlebih kini, uang tidak hanya hadir dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk virtual dan tidak semua diregulasi secara ketat oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Keuangan AS, layanan keuangan digital sangatlah rentan disalahgunakan oleh kelompok teroris karena sistem ini membuka peluang dan memungkinkan transfer dana kepada individu atau kelompok melewati lintas batas negara dengan pengirim yang tak dapat terlacak atau menggunakan label anonim.

The Financial Action Task Force (FATF), sebuah organisasi lintas negara yang fokus pada pengawasan aliran keuangan terorisme dan money laundering, bahkan mengkhawatirkan bahwa “sistem elektronik dan metode pembayaran baru berpotensi memunculkan kerentanan dalam banyak hal…sebab sistem ini dapat diakses secara global dan digunakan untuk mentransfer dana dengan cepat… sementara di saat yang sama, sulit bagi pemerintah dan badan pengawasan keuangan global untuk mengidentifikasi pengguna akhir yang sebenarnya.”

Meski FATF telah menyampaikan kecemasan mereka secara langsung, namun di satu sisi mereka meyadari bahwa bahwa prevalensi pemanfaatan teknologi untuk pendanaan terorisme tersebut tidak jelas. Intinya, sejumlah pemerintah telah mendeteksi potensi berbahaya, namun hanya ada sedikit data yang valid untuk mendukung kecurigaan mereka.

Satu dari sedikit data yang ada baru-baru ini dipublikasikan oleh seorang peneliti dari Universitas Swansea Inggris bernama Joe Whittaker. Untuk mengetahui dinamika pendanaan terorisme, ia memanfaatkan data sampel 231 orang dari tahun 2012-2020 yang bertindak atas nama Negara Islam (IS) di AS yang dikumpulkan dari data sumber terbuka, seperti dokumen pengadilan, siaran pers Departemen Kehakiman, artikel jurnalistik, dan literatur akademik.

Data-data aliran finansial tersebut ditemukan bahwa ternyata kelompok teroris telah memanfaatkan sistem teknologi keuangan terpadu untuk melakukan aksi-aksi mereka. Berdasarkan investigasi Joe, dana yang terkumpul mereka gunakan untuk: merencanakan serangan; mencoba melakukan perjalanan dalam rangka “kekhalifahan”; dan membantu memfasilitasi orang lain yang tertarik untuk bergabung dengan mereka.

Sebagian dari data yang ada juga memperlihatkan bahwa sistem keuangan virtual memudahkan mereka menghimpun dana yang digunakan untuk melakukan perencanaan dan melancarkan serangan. Fakta ini turut didukung oleh pernyataan dari para individu yang berhasil ditangkap oleh polisi. Sedangkan sebagian data penunjang lain diperoleh dari pelacakan strategi plot yang gagal diamankan oleh pihak keamanan.
Sejauh ini, FATF terbantu mengurai permasalahan yang ada dari pengakuan mereka yang telah ditangkap. Walau begitu, dari penyidikan sementara, masih banyak missing point yang belum dapat diungkap.

Terlebih, aktor-aktor yang berperan penting dalam mengelola aliran uang kepada kelompok-kelompok teroris, termasuk individu yang telah ditangkap, dituntut, dan dihukum, sebagian telah meninggal dunia.
Padahal, sebagian dari mereka, merupakan anggota teroris inti yang bertugas untuk mengirim dan menerima uang untuk melancarkan serangan teror. Mereka juga diduga telah mengumpulkan dana di antara sesama rekan mereka untuk membeli bahan peledak, senjata, hingga tiket pesawat atau membiayai pelaku penyerangan melalui moda transportasi lainnya.

Di Indonesia, ditengarai bahkan pengumpulan dananya tidak selalu dari sesama anggota kelompok teroris. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menemukan indikasi adanya sumber pendanaan terorisme melalui pengumpulan donasi oleh yayasan. Hal tersebut disampaikannya dalam rapat kerja (raker) Komisi III DPR, Selasa 14 Februari lalu.

“Diketahui adanya dugaan pendanaan terorisme melalui penyimpangan aktivitas pengumpulan donasi oleh yayasan yang berorientasi pada kegiatan sosial kemanusiaaan amal dan keagamaan.”

Hingga kini PPATK masih mendalami bagaimana aliran dana tersebut disalurkan dan siapa yang bertanggungjawab soal dugaan penggalangan donasi sebagai sumber pendanaan terorisme tersebut. Namun kuat diduga bahwa yayasan yang dicurigai juga membuka donasi lewat gempa Cianjur yang baru-baru ini terjadi. Melihat fenomena yang ada, penting bagi publik untuk lebih waspada mengenai profil yayasan penggalang dana dan bagaimana pertanggungjawaban mereka setelah donasi disalurkan.

TERBARU

Konten Terkait