Hari ke dua acara Nyadran Perdamaian, langit tampak cerah walaupun hari sedikit gerimis. Waktu itu, sekitar jam 11.00 kami menyelesaikan acara Nyadran di makam. Lalu, kamu beristirahat sejenak sebari menunggu umat Muslim yang shalat jumat. Sore harinya, kami berjalan menuju Dusun Gletuk untuk menyaksikan pertunjukan tari openg ireng dan tarian lainnya.
Yaaa! Ternyata rangkaian acara Nyadran Perdamaian tersebut tidak hanya nyadran di makam, tapi ada banyak hal. Diantaranya kelas sesaji, kelas perempuan bertutur, jelajah kampung, meditasi, pentas kesenian topeng ireng dan lain-lain. Semua rangkaian acara tersebut diselenggarakan di Dusun Krecek dan Dusun Gletuk.
Sampai di Dusun Gletuk, saya melihat pemandangan yang indah. Berbeda dengan Dusun Krecek, Dusun ini dihuni oleh masyarakat dengan identitas agama yang lebih beragam, Muslim, Buddhis dan Kristiani. Namun yang menarik adalah perbedaan identitas tersebut tidak membuat mereka pecah, saya melihat betul warga mereka saling bercengkraman sebari menyaksikan pertujukan tari.
Selain itu, saya melihat keberagaman juga di atas panggung. Laki-laki berpeci, laki-laki tanpa peci, perempuan dengan kerudung, perempuan dengan sanggul dan banyak lagi. Nampak saling kolaborasi memainkan musik dan menari. Sungguh saya melihat Indonesia di sana.
Keesokan harinya, saya memutuskan untuk menuntaskan rasa penasaran saya. Akhirnya saya dan teman yang lainnya menemui pak Sarono, tokoh Muslim di Dusun Gletuk. Sesampai di rumah pak Sarono, kami di sambut dengan baik, mereka sangat ramah. Lalu kami mulai berbicang. Dia memulai dengan kalimat, “Saya dan bahkan semua masyarakat di sini sangat senang ketika menyambut acara Nyadran Perdamaian ini.”
Menurutnya tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang patut disyukuri. Pak Sarono mengikuti tradisi tersebut sejak kecil. Beliau tidak tau pastinya kapan adat itu di mulai, ia hanya mengikuti mbah-mbahnya, begitupun yang lainnya.
“Sejak dahulu memang tradisi ini dilakukan bersama oleh masyarakat Muslim dan Buddhis, campur (berbeada) menjadi satu sudah biasa di sini,” tegas pak Sarono.
Menurutnya salah satu makna tradisi nyadran ini adalah mempersatukan masyarakat dengan ragam identitas agama, seperti yang sudah di praktikan oleh nenek moyang. Nah, melalui tradisi Nyadran Perdamaian ini para leluhur mengajarkan tentang persatuan sesama manusia yang tidak bisa ditawar lagi. Masyarakat sangat jauh dari konflik atas nama agama. Sebab, menurut masyarakat Dusun Gletuk ini persatuan masyarakat sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun.
Bahkan di hari-hari besar, masyarakat saling bersilaturrahmi. Mulai dari hari raya idul fitri, hari waisak dan hari natal. “Di hari-hari besar mereka saling mengundang, saling sowan dan saling membantu mempersiapkan acara besar tersebut,” tegas pak Sarono.
Selain itu, dalam kebiasaan tersebut masyarakat melibatkan anak-anaknya. Tidak saling bantu, berarti tidak bersatu! Begitu kira-kira gambarannya. Hal yang mencuri perhatian juga soal makam yang disatukan, menurut pak Sarono tidak ada sama sekali panatisme soal penyatuan makam semua agama, karena sedari zaman nenek moyang makam sudah disatukan.
“Saya sebagai umat muslim terbiasa ikut rangkaian kegiatan pemakaman umat Buddha atau umat Kristen dari mulai memandikan, ngebopong sampai menguburkan, yang tidak ikut hanya menyembahyangkan saja, karena tidak tahu caranya,” jelas pak Sarono.
Katanya, praktik toleransi sudah biasa dilakukan di Dusun Gletuk ini, sejak nenek moyang. Pak Sarono menjelaskan, dirinya tidak perlu mengajarkan masyarakat mengenai kerukunan, kerjasama, toleransi atau keberagaman. Sebab, hal itu sudah tertanam di hati mereka sejak mereka lahir.
Kita harus belajar banyak dari Dusun Gletuk ini, mereka menganggap bahwa perbedaan identitas agama adalah hal yang biasa. Bahkan, hanya sekedar warna dalam masyarakat. Tapi persatuan dalam perbedaan adalah harga mati yang harus dihormati oleh samua masyarakat.