31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Mengenalkan Keberagaman Di Pondok Pesantren Al-Iman

Fakta bahwa gerakan radikal dimulai dari cara beragama yang eksklusif, dan fanatisme terhadap kebenaran mazhab tertentu harus dipahami oleh pesantren. Dimana eksklusifisme dalam beragama tersebut berawal dari cara merujuk sumber keagamaan yang keliru dan cara memahami madhab yang salah. Jadi pesantren memang tidak mengajarkan ekstrimisme dan radikalisme secara langsung, namun cara penyampaian kemudian sikap fanatisme yang dilakukan dengan hanya mempercayai kebenaran tokoh tertentu sebagai kebenaran tunggal adalah awal mula gerakan radikal diproduksi. Namun, keberagaman bisa tercermin di Pondok Pesantren Al-Iman, Ponorogo.

Apalagi menurut Muhammad Husein Abdullah, mayoritas masyarakat tidak memahami bahwa perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan madzhab-madzhab adalah sesuatu yang alamiah dan sehat serta bukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat sesungguhnya telah terjadi bahkan semenjak zaman Rasulullah SAW melalui taqrir-nya.

Pondok pesantren al-Iman secara aktif menjalankan program yang bertujuan untuk mengenalkan keberagamaan pendapat dalam beragama. Salah satunya melalui program Fathul Kutub yang wajib diikuti oleh seluruh santri kelas 6 KMI (setara kelas 3 aliyah) baik putra maupun putri. Program fathul kutub dimulai dengan mengikuti seminar metodologi tafsir dan dilanjutkan dengan melakukan analisis permasalahan kontemporer. Adapun tahapan selanjutnya adalah melakukan presentasi hasil analisis.

Presentasi Hasil Analisis Untuk Membiasakan Diskusi Dalam Perbedaan
Setelah mengikuti seminar metodologi tafsir dan dilanjutkan dengan melakukan analisis permasalahan kontemporer, setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil analisis dari permasalahan kontemporer yang didiskusikan dihari sebelumnya. Di tahap ini, setiap anggota kelompok mempresentasikan rujukan yang digunakan, metode penafsiran yang digunakan, dan kesimpulan yang dihasilkan. Disinilah peran pendamping sangat dibutuhkan, karena tak jarang dalam 1 kelompok ada kesimpulan yang kontradiktif.

Pendamping yang terdiri dari ustadz/dzah dan bahkan para kyai dan bu nyai mencari garis tengah atas perbedaan kesimpulan yang dihasilkan. Hal penting yang ditekankan ditahap ini adalah fakta bahwa tidak ada kebenaran tunggal dalam sebuah penafsiran. Karena tidak ada kebakuan dalam ilmu-ilmu keislaman baik dalam bentuk teks kitab suci maupun kitab karya ulama klasik. Karena ilmu keislaman terus berkembang dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu.

Perbedaan kesimpulan tersebut juga dianalisis dengan menggunakan pendekatan lain seperti pendekatan ilmu sosial, linguistik, sejarah, untuk menciptakan pendekatan yang komprehensif dalam menentukan kesimpulan paling memungkinkan yang bisa diimplementasikan. Di tahap inilah, diskusi, pro dan kontra, adu argumentasi terjadi baik antar santri maupun santri dengan pendamping.

Namun perdebatan yang terjadi selalu berdasarkan referensi, bukan hanya sekedar perdebatan yang mengedepankan emosional apalagi keuntungan kelompok tertentu saja. Jika pada akhirnya perdebatan tidak bisa ditengahi karena masing-masing peserta meyakini kebenarannya masing-masing, maka sesi akan diakhiri dengan kesimpulan bahwa begitulah realitas yang mungkin terjadi di masyarakat kelak. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana para santri membiasakan diri untuk hidup dengan sebuah kelompok yang mungkin berbeda dengan sesuatu yang diyakini.

Pentingnya membesarkan hati, sikap toleransi, dan menghargai manusia berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan terus diinternalisasi di setiap diskusi. Kegiatan serupa terus diulang hingga kelompok terakhir mempresentasikan hasil analisisnya dan direspon dengan cara yang sama pula. Dari tahapan ini, santri dibiasakan untuk mendiskusikan permasalahan kontemporer dengan berbagai pendekatan. Santri juga dibiasakan untuk menghadapi perbedaan pendapat dan bagaimana cara menyampaikan pendapat agar tidak melukai nilai-nilai kemanusiaan apalagi menggunakan pendekatan kekerasan yang anarkis.

Program fathul kutub memiliki peran yang signifikan dalam mengenalkan keberagamaan pendapat dalam beragama bagi santri di pondok pesantren al-Iman. Hal ini tampak dari proses yang dilakukan selama program berlangsung hingga karakter yang terbentuk setelah program fathul kutub dijalankan. Empat nilai dasar moderasi juga terinternalisasi secara maksimal selama pelaksanaan program. Keempat nilai tersebut antara lain nilai toleransi dengan menekankan tidak adanya kebenaran universal dan tunggal karena setiap perbedaan adalah rahmat.

Nilai keadilan diberikan dengan membuka akses bagi semua santri untuk merujuk pada berbagai referensi tanpa intervensi sepanjang sesuai dengan kaidah dan metodologi. Nilai keseimbangan terlihat dari digunakannya berbagai kitab tafisr klasik hingga modern, dan menyeimbangkan hubungan Tuhan dan manusia dengan menekankan bahwa hukum harus mengakomodir kebutuhan manusia. Nilai kesetaraan terlihat dengan tidak dibedakannya perlakuan antara santri putra dan putri.

Keduanya diberikan akses yang sama untuk menggunakan refrensi, beradu argumentsi, dan juga diberi hak untuk menyimpulkan yang berdasarkan kemampuan dan kapasitas bukan jenis kelamin.dampak nyata dari program tersebut adalah tidak ada satupun santri maupun alumni pondok pesantren al-Iman yang terafiliasi dengan gerakan radikal dan organisasi transnasional.

TERBARU

Konten Terkait