29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Meneguhkan Kembali Semangat Berwawasan Kebangsaan

Tipologi Gerakan Islamisme Dalam Dunia Politik
Pada awal abad 20, Islamisme mulai menunjukkan pengaruhnya. Hal ini terbukti ketika sistem ketatanegaraan modern menggantikan sistem keamiran, kekhalifahan dan bentuk-bentuk feodal lainnya yang berbasis pada kesukuan dan kekeluargaan. Sehingga perubahan inilah yang membawa pengaruh dengan adanya sistem ketatanegaraan pada aktor-aktor politik baru yang menggeser dominasi status quo. Kemunculan Abul A’la Maududi sebagai pencetus Jama’at Islami Indo-Pakistan dan Hasan Al-Bana sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan yang mengilhami pembentukan gerakan-gerakan serupa sekaligus memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pemahaman Islam sebagai ideologi politik.

Ikhwanul Muslimin kemudian berkembang dengan memunculkan gerakan-gerakan sempalan yang sangat radikal di berbagai negara. Sebut saja seperti Hizbut Takhrir, Jihad Islam, Hamas, Hizbullah, Jama’ah Islamiyah (JI), Jama’at Takfir, dan sebagainya. Munculnya gerakan radikalisme yang tidak lain adalah anak dari Islamisme tidaklah terlepas dari nuansa perjuangan politik, yaitu sebagai bentuk protes terhadap politik gaya Barat yang sekuler dan sering tidak berpihak terhadap umat Islam. Ditambah dengan adanya berbagai konflik, kemiskinan, korupsi, kolusi dan sebagainya sehingga menimbulkan reaksi atas kegagalan rezim politik gaya Barat tersebut.

Di Indonesia sendiri paham radikal sudah ada sejak Orde Baru dan Zaman Reformasi yang hingga saat ini telah berkembang dengan pola yang sangat dinamis. Pada zaman Pemerintahan Soeharto, radikalisme terjadi dengan munculnya DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) sebagai sebuah upaya rekayasa politik yang memojokkan Islam. Jelas bahwa gerakan ini mempunyai tujuan untuk mengganti ideologi Pancasila dan menciptakan Negara Islam Indonesia.

Azyumardi Azra juga mengungkapkan muncul dan berkembangnya radikalisme di Indonesia yang disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, faktor internal umat Islam, yaitu adanya penyimpangan norma-norma agama akibat adanya kehidupan sekuler. Kedua, faktor eksternal umat Islam, yaitu adanya sikap refresif penguasa terhadap kelompok Islam seperti ketika zaman Orde Baru.

Adanya krisis kepemimpinan pasca Orde Baru juga menunjukkan lemahnya penegakan hukum sehingga memunculkan gerakan Islam untuk menerapkan Syariat Islam sebagai solusi politik. Ditambah ketika rezim Soeharto runtuh, masyarakat semakin menjadi individu yang keras karena adanya represi politik, perampasan masalah sosial ekonomi. Begitu juga dengan adanya kegagalan pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan, serta pendidikan yang terjangkau.

Pentingnya Ideologi Pancasila
Dijelaskan oleh Al Imam Abu Hayyun dalam tafsir al-Bahr al Muhith bahwa, perpecahan mengakibatkan kehancuran yang membuat para penjajah muda menguasai negara. Dengan hal ini jelaslah bahwa relasi agama dan negara, seperti kewajiban-kewajiban warga negara, menghormati pemerintah, toleransi antar umat dan agama, dan larangan akan tuduhan kafir, syirik, munafik, dan fasik kepada orang dan golongan lain adalah tidak dibenarkan.

Menurut Irfan Idris, deradikalisasi adalah suatu proses transformasi pola pikir, tindakan maupun perilaku seseorang dari yang bersifat radikal anarkis menjadi radikal yang komprehensif, moderat, holistic, serta kritis akomodatif. Program deradikalisasi adalah upaya yang dijalankan bagi para mantan teroris, mantan narapidana teroris, keluarga, jaringan, dan pihak-pihak yang terindikasi radikal teroris.

Meneguhkan kembali wawasan kebangsaan dalam program deradikalisasi adalah hal yang harus terus diupayakan sebagai strategi bangsa dalam mengikis dan menurunkan tingkat radikalisme pihak atau kelompok. Pancasila dipercaya sebagai salah satu perwujudan program deradikalisasi melalui pendekatan wawasan kebangsaaan. Selain sebagai falsafah hidup berbangsa dan ideologi nasional, konsep dan visinya dapat dijabarkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun lima sila yang dapat dijabarkan kembali secara komprehensif sebagai landasan dalam melawan ancaman paham radikal yaitu. Sila pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung makna hubungan toleransi antar umat beragama. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengandung makna pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sila ketiga, Persatuan Indonesia mengandung makna bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk atas dasar kebangsaan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan Perwakilan mengandung makna kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia harus berlandaskan prinsip demokrasi. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung makna bahwa kesejahteraan adalah hak setiap warga negara Republik Indonesia.

Dari lima sila tersebut, terbukti bahwa Pancasila menjadi pemersatu sekaligus pengikat jati diri yang paling tangguh dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang telah disaring secara singkat dan jelas dalam butir-butir Pancasila harus terus diupayakan dan digembleng secara masif dalam tataran praktik agar lebih mengena dalam kehidupan masyarakat. Program deradikalisasi melalui pendekatan lunak (soft approach). Yakni, wawasan kebangsaan dengan menggunakan ideologi pancasila dan sejarah bangsa Indonesia sangatlah penting. Agar terciptalah kehidupan bangsa yang sadar untuk saling menghargai dan menghormati dengan menjaga perdamaian dan menghilangkan paham radikalis.

TERBARU

Konten Terkait