Ulama Perempuan, Konteks Hubungan Agama dan Negara

Apa sih urgensi dan peran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam konteks kebangsaan? Emang bisa agama ikut campur dalam masalah-masalah Negara?” Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul di setiap benak siapa pun yang baru mendengar atau mengenal Kupi. Untuk menjawab pertanyaan dan mempertegas urgensi Kupi dalam konteks kebangsaan, ada baiknya kita berangkat dari relasi antara agama dan negara di Indonesia.

Bicara tentang Indonesia, kemajemukan, keberagaman dan kebangsaan selalu menjadi kata kunci. Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menarik untuk melihat hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara Barat yang cenderung sekuler, Indonesia mempunyai ciri khasnya sendiri. Bukan Negara Agama, namun juga bukan Negara Sekuler. Hubungan antara agama dan negara di Indonesia sampai saat ini tetap dalam bentuk yang bersinggungan satu sama lain. Tidak sepenuhnya terintegrasi, namun tidak sepenuhnya juga terpisah.

Ulama Perempuan, Konteks Hubungan Agama dan Negara

Tidak dapat dipungkiri, sekularisasi politik dalam konteks modernasi yang dialami negara-negara Barat juga terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada masa orde baru di mana kebijakan pemerintah orde baru mendukung proses sekularisasi, sejalan dengan proses modernisasi dan pembangunan. Agama dipisahkan dari negara. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada pelarangan simbol-simbol agama dan politik di ruang publik.

Akan tetapi, meskipun terjadi proses sekularisasi yang sangat kuat pada masa itu, pemisahan agama dan negara nyatanya tidak terjadi di dalam masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam di Indonesia tetap memiliki orientasi keagamaan dan juga melakukan sosialisasi keagamaan secara kultural. Sesuai dengan karakteristik ajaran Islam yang tidak hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga tentang cara hidup yang memiliki standar etika moral dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Berakhirnya masa orde baru dan muncul era reformasi yang mendukung kebebasan berekspresi dan berpendapat, menjadi momentum bagi tokoh Islam dan ormas Islam dengan mendirikan partai-partai Islam. Sempat muncul gagasan dan perdebatan untuk memasukkan pelaksanaan syariat Islam dalam konstitusi, namun gagasan tersebut tidak bisa diterima oleh MPR. Mengingat para Founding Fathers telah menjadikan ideologi Pancasila sebagai asas utama. Meski demikian, mayoritas kelompok Islam tetap mendukung modernisasi politik dan demokratisasi. Walaupun ada yang menolak, tetapi hanya sebagian kecil saja.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler. Secara kelembagaan mungkin bisa dikatakan berbentuk sekuler, namun secara filosofis tetap mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam pasal 29 ayat 1 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Pengakuan dan eksistensi agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara diwujudkan contohnya dalam kebijakan publik seperti legislasi hukum-hukum agama tertentu menjadi hukum nasional. Ambil contoh KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang dijadikan rujukan dalam berperkara di pengadilan. Keimpulannya, dalam konteks Indonesia, agama dan negara saling membutuhkan. Agama, Indonesia dan kebangsaan selalu terkait dan berkelindan.

Seperti yang disampaikan Dr. KH. Lukman Hakim Saifuddin dalam Halaqoh Kebangsaan Kupi 2 November lalu. Pada kesempatan tersebut beliau mengatakan bahwa “Beragama hakikatnya adalah berkebangsaan. Sebaliknya, Bernegara dan berkebangsaan tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama”. Lebih lanjut Kyai Lukman menjelaskan bahwa eratnya keterkaitan agama dalam setiap lini kehidupan masyarakat muslim di Indonesia, pada akhirnya menimbulkan tantangan baru. Di antaranya adalah:

Lahir fenomena orang-orang yang beragaman tetapi justru mengingkari inti pokok ajaran agama, yaitu kemanusiaan. Mereka berpikiran ekstrim sehingga gampang menyalahkan, mengafirkan, dan mendiskriminasi.
Lahirnya tafsir agama yang tidak bertanggungjawab secara metodologi yang merendahkan perempuan. Menggunakan ayat-ayat agama untuk melanggengkan budaya patriarkis seperti domestifikasi perempuan, melihat perempuan hanya sebagai objek seksual dan hal diskriminatif lainnya.

Adanya kebijakan negara yang belum pro keadilan gender. Sebagai contoh KUHP yang dalam kebijakan banyak terdapat poin yang merugikan perempuan. Praktek relasi kemasyarakatan yang belum berperspektif perempuan. Masih adanya stereotype dan juga diskriminasi yang dialami perempuan baik itu dalam ranah domestik maupun publik. Ambil contoh kasus pemerkosaan, seringnya hanya berakhir di mediasi.

Tantangan dan masalah tersebut tentu membutuhkan kerja-kerja dari berbagai pihak untuk menghadirkan solusi. Sebagai sebuah gerakan yang menghimpun individu dan lembaga yang meyakini nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin. Baik itu dari segi kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan, peran Kupi sangat besar di sini. KUPI menganggap bahwa penting untuk merawat bangsa dari bahaya ektrimisme yang berdampak terhadap perempuan. Mereka yang mempunyai ideologi ekstrem cenderung memanfaatkan kerentanan perempuan.

Apalagi mereka yang sudah mengarah pada ekstrimisme kekerasan, perempuan bahkan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk melancarkan aksi terorisme. Ada kalanya sistem reproduksi perempuan dimanfaatkan sedemikian rupa. Perempuan tidak boleh keluar rumah dan hanya berfokus memproduksi “tentara tuhan”. Di sisi lain, para perempuan justru hadir di ranah publik sebagai pelaku bom. Kedua model ini sangat mengancam keutuhan bangsa dan negara. Karena itu perlu pendekatan khusus dalam menangani ekstrimisme pada perempuan.

Kupi yang basisnya adalah ulama perempuan dengan berbagai latar belakang yang berperspektif perempuan tentu akan melihat masalah tersebut secara utuh. Dengan otoritas keagamaan yang dimiliki, hal utama yang menjadi fungsi sekaligus peran kupi adalah melakukan kontekstualisasi tafsir-tafsir keagamaan tanpa menjustifikasi tafsir agama yang telah lalu. Sebagai counter atau melawan kutub-kutub ekstrem di mana saja.

Maka di sinilah letak peran kupi, yaitu sebagai komunikator antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat di tingkat akar rumput yang tetap memegang teguh nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia tetap dalam porsi yang seharusnya. Tetap bersinggungan dan tidak terpisah sama sekali dengan nilai-nilai agama.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top