Kondisi Terkini Afghanistan
Setelah Amerika Serikat hengkang dari Afghanistan, kelompok radikal Taliban kembali menguasai negeri Pashtun. Berkuasanya Taliban di Afghanistan mengakibatkan perubahan kebijakan dalam segala bidang termasuk yang berkaitan dengan isu-isu perempuan. Ketika memerintah kembali, memang Taliban sempat menyatakan bahwa mereka akan memperbaiki kondisi perempuan. Namun perbaikan yang dimaksud bukan dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada kepada perempuan.
Justru sebaliknya, perempuan kian dikekang dan diperlakukan seperti aib yang perlu disembunyikan. Bahkan, mannequin yang berwajah perempuan pun diperintahkan untuk ditutup karena khawatir menimbulkan syahwat. Sekolah-sekolah banyak ditutup akibat kekurangan guru dan kurangnya fasilitas bagi anak perempuan. Jika ada perempuan yang mau bersekolah, perjalanan mereka menuntut ilmu tidaklah aman.
Risiko penculikan hingga kawin paksa begitu sering sehingga menimbulkan ketakutan tersendiri. Tak heran, orangtua yang putus asa akhirnya memutuskan untuk menikahkan anak-anak perempuan sesegera mungkin. Hal yang miris, kebijakan tadi seperti mata pisau, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Marjinalisasi perempuan yang diterapkan Taliban ternyata hanya diberlakukan pada perempuan dari golongan rakyat biasa.
Sebaliknya, anak-anak perempuan pejabat Taliban hidup dengan bebas di negeri tetangga seperti Qatar. Mayoritas keturunan elit Taliban mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, mereka dengan sangat mudah menuntut ilmu dan menggapai cita-cita setinggi mungkin. Secara otomatis, tindakan diskriminatif di negeri sendiri tidak mereka rasakan.
Peningkatan Potensi Terorisme
Di tengah eksklusi hak-hak dasar perempuan, ekonomi Afghanistan juga kian memburuk. Ketika pandemi sudah mulai mereda di berbagai negara dunia, negara dengan ibukota Kabul ini justru tidak memperlihatkan geliat masyarakat yang berarti. Pasar masih lesu karena warga tak memiliki banyak modal untuk menghasilkan uang. Ladang-ladang mereka sudah tidak subur karena berkali-kali terkena ledakan bom dan granat, belum lagi persoalan pembelian pupuk dan bibit yang harganya sudah tak lagi terjangkau oleh dompet di tangan.
Memburuknya situasi yang dialami masyarakat akhirnya berefek domino: kriminalitas tinggi dan pertikaian makin kerap terjadi. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok radikal yang berbasis di Afghanistan untuk mengambil keuntungan. Warga yang memiliki sentimen tertentu kepada kelompok minoritas mereka hasut untuk bergabung dengan grup mereka.
Tidak hanya diiming-imingi harapan surga, tapi mereka juga menjanjikan uang dan makan untuk sekadar mengganjal perut. Anehnya, meski berdalih membela nilai-nilai agama Islam, mereka tak segan menjual ganja dan membantu produksi tanaman narkotika lainnya untuk mendapatkan laba guna membeli senjata dan peralatan perang lainnya.
Hasil keuntungan tadi mereka pakai juga untuk melancarkan aksi terorisme. Berdasarkan laporan otoritas setempat, pada pertengahan tahun 2022 lalu saja sudah ada dua pengeboman di sejumlah masjid Syiah di Kabul dan Provinsi Balkh Utara. Di daerah ibu kota, ada lima orang yang meninggal dunia dan dua orang mengalami luka-luka.
Di Balk Utara, terjadi tiga ledakan yang menyebabkan jumlah korbannya jauh lebih banyak. Tercatat lima belas orang tewas, dan sepuluh yang lain dapat terselamatkan meski harus mendapatkan perawatan ringan. Menurut Mohammad Asif Wazeri, juru bicara komandan provinsi Balkh, aksi teror yang menyerang tempat ibadah itu menargetkan anggota komunitas Syiah, salah satu kelompok minoritas agama di Afghanistan.
Merespon kejadian ini, belum ada satu pun komplotan radikal yang mengaku bertanggungjawab. Namun besar kemungkinan pelakunya berasal dari ISIS. Sebab periode sebelumnya mereka sempat menyatakan bahwa aksi teror selanjutnya akan menargetkan kelompok Syiah. Tak hanya serangan bom di rumah ibadah, saling serang antar kelompok bersenjata juga terjadi beberapa kali di negeri Asia bagian tengah tersebut.
Tindak kekerasan pun tidak sebatas melibatkan pasukan militer semata, kelompok pemberontak seperti Tehrik-i-Taliban yang tidak sejalan dengan kelompok penguasa sekarang, turut menebar aksi teror agar keinginan mereka terpenuhi.Kompleksitas keamanan dalam negeri yang terjadi di Afghanistan ini sempat membuat hubungan bilateral dengan Pakistan memanas. Pasalnya, teror yang dilancarkan terjadi pada wilayah perbatasan dengan negara tetangga mereka.
Dampak buruk yang ditimbulkan bukan lagi mengarah pada Taliban saja. Namun, ikut merusak truk anggota militer penjaga perbatasan. Melihat tingginya potensi terorisme dan makin berkembangnya konflik di Afghanistan, apa yang dikhawatirkan oleh Aldous Huxley tentang dampak perang tampak benar adanya: “fakta paling mengejutkan tentang perang adalah korbannya hanyalah manusia biasa, dan para manusia ini harus dikutuk oleh konvensi politik yang mengerikan untuk kemudian saling membunuh atau dibunuh dalam pertengkaran yang mereka tak tahu apa-apa.”