29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Memahami Radikalisme dengan Kekuatan Empati

Radikalisme yang Disalahpahami
Ketika seseorang memiliki ideologi radikal, ia kerap dilihat sebagai orang yang sepenuhnya jahat. Hal yang kemudian membuat individu tersebut semakin menjaga jarak dan bersikap eksklusif. Padahal, menurut Ella McLaughlin, akademisi Amerika Serikat, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Berkaca dari pengalamannya saat menjadi mahasiswi yang menjalankan pertukaran pelajari ke Turki, Ella mengungkapkan bahwa ideologi politik nasionalis radikal tidak otomatis tertanam di benak seseorang. Kepercayaan dan nasionalisme garis keras yang dipegang erat oleh individu memiliki latar belakang kompleks yang tidak bisa disederhanakan begitu saja.

Saat menimba ilmu di negeri Mustafa Kemal Ataturk, Ella melihat sendiri bagaimana ia yang ditampung oleh keluarga partai nasionalis Turki justru diperlakukan baik sesampainya di sana. Bahkan saat sakit sekalipun, ia dibantu dan dirawat dengan baik hingga ia sembuh total. Kebaikan keluarga induk semangnya, kemudian membuat Ella bertanya-tanya, “kenapa keluarga mereka, utamanya sang ayah justru menjadi simpatisan partai nasionalis sayap kanan?”

Memahami Radikalisme dengan Empati
Ella yang penasaran kemudian memberanikan diri untuk bertanya secara bertahap mengenai silsilah. Lalu bertanya kepadanya karena telah fanatic terhadap partai politik yang ia anggap sebagai alat mobilisasi massa yang berbahaya. Ketika ditelusuri lebih lanjut, ternyata laki-laki tersebut lahir dari keluarga yang kurang berpendidikan.

Orangtuanya tidak pernah bersekolah sebelumnya, dan ia tumbuh besar di lingkungan pedesaan yang komunitasnya sangatlah homogen. Usai program pendidikannya usai, ia tak lantas kembali ke desa. Ia yang mendapati pengumuman pembukaan pendidikan militer, kemudian tertarik dan mendaftar hingga lolos ujian menjadi polisi.

Semasa pendidikan kepolisian, ia secara konsisten didoktrin bahwa cinta negara adalah salah satu jihad terbesar manusia. Kemudian ia juga memperoleh informasi bahwa golongan Kurdish adalah kaum permberontak, sehingga mereka patut dibenci dan perlu dimusuhi karena mereka adalah sekelompotan orang yang membahayakan keselamatan nasional. Hal-hal seperti inilah yang kemudian meracuni pemikiran sang ayah pada keluarga induk semang Ella.

Nasionalisme ekstrem hingga membenci ras lain yang ia pegang ternyata hasil didikan dari lingkungan sosialnya. Terlebih selama hidup, ia jarang bertemu dengan individu dari ras berbeda, sehingga perasaan superiornya terus tumbuh dan menancap kuat. Dengan berdialog tanpa menggurui, Ella juga belajar bahwa memiliki pemikiran politik radikal memiliki banyak sisi.

Pada sisi ayah induk semangnya, ia hanya sebatas mendukung kebijakan radikal partai, tapi ketika berada di lingkungan keluarga, ia amat ‘liberal’ dengan membiarkan kedua anak perempuannya menjadi apapun yang mereka minati. Tidak ada pembatasan dan justru ia tak memaksa anaknya untuk menjadi polisi sama sepertinya. Sisi lain dari radikalisme yang memiliki banyak wajah tersebut membuat Ella terbuka matanya.

Selama ini melihat orang yang ia cap radikal dengan perspektif sempit. Sehingga, mendalami akar radikalisme dengan lebih empatik membantunya mendalami sumber masalah sebenarnya. Bahkan dengan berbagi cerita dan membuka dialog. Kemudian, dia dapat membagikan sudut pandang berbeda kepada individu berpolitik radikal. Dari percakapan ringan yang berawal dari empati tersebut, Ella semakin yakin bahwa radikalisme perlu dihadapi dengan lebih manusiawi.

Alih-alih langsung menerapkan tindakan hukum, orang-orang yang berpikiran radikal perlu diajak bicara dari hati ke hati agar akar radikalismenya bisa terkuak dengan jelas. Sejalan dengan Ella, menurut Terri Givens, yang merupakan profesor ilmu politik di Universitas McGill dan pendiri Pusat Kepemimpinan Pendidikan Tinggi dan Pengembangan Profesional, untuk mengurangi paparan radikalisme akibat kesenjangan sosial ekonomi antar lapisan masyarakat, tiap orang perlu memperluas definisi empati mereka.

Tidak hanya sebatas tahu posisi orang lain, tapi perlu adanya upaya untuk memahami pengalaman mereka. Bahkan, lebih dalam memahami asal-usul bias dan pandangan dunia yang telah mereka yakini selama bertahun-tahun. Dengan menerapkan kekuatan empati, dampak positif ke depannya adalah batas-batas eksklusivitas akan semakin kabur dan lalu terbentuk dua jenis empati: yang pertama, empati emosional, yang membuat tiap orang lebih memahami bagaimana perasaan orang lain, dan kedua, empati kognitif, yang mendorong individu lebih memahami bagaimana orang lain (terutama yang memiliki pemikiran radikal) melihat dunia.

TERBARU

Konten Terkait