Maraknya kasus ekstrimisme kekerasan yang melibatkan perempuan beberapa tahun belakangan, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme. Perempuan yang dulunya berperan di belakang layar sebagai pendukung ideologi, perantara dan fasilitator kemudian bertransformasi menjadi eksekutor penyerangan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “kog bisa sih perempuan menjadi pelaku bom?”. Padahal perempuan adalah manusia yang identik dengan karakter feminin dan welas asih. Apakah benar perempuan menjadi pelaku atau jangan-jangan hanya sebagai korban? Maka penting untuk menggunakan analisis gender dalam melihat dinamika ini.
“Tidak ada ideologi ekstrimis yang mendukung ideologi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki”. Kalimat ini saya kutip dari pernyataan seorang pakar yang berpartisipasi dalam penelitian terkait analisis gender dalam gerakan ekstrimisme. Penelitian yang dilakukan oleh UN Women tersebut di antaranya berkesimpulan bahwa ideologi sebagian besar ekstrimis kekerasan berhubungan erat dengan dimensi gender.
Menurut penelitian tersebut, proses radikalisasi di kalangan perempuan dan laki-laki sangat berbeda meskipun direkrut dan berpartisipasi di dalam organisasi yang sama. Perbedaan tersebut sangat terkait dengan peran gender. Faktor-faktor yang mendorong laki-laki untuk bergabung dengan kelompok ekstrimis sangat mungkin berbeda dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan.
Sebagian orang mungkin masih mengaitkan istilah eksrimisme dengan isu-isu yang cenderung maskulin seperti bom, jihad atau qital. Padahal, ekstrimisme juga bisa terjadi di ranah isu-isu feminin seperti poligami tanpa batas, eksploitasi tubuh perempuan dan isu-isu lainnya yang merendahkan derajat perempuan. Seperti itulah cara kelompok ekstrimis membangun norma gender yang menghasilkan maskulinitas dan superioritas yang memungkinkan untuk membatasi partisipasi perempuan.
Kelompok ekstrimisme kekerasan biasanya selalu menempatkan perempuan dalam dua posisi yang bersebrangan. Sebagai penyelamat kehidupan di satu sisi, namun juga menjadi penyebab kondisi yang dianggap tidak bermoral di sisi lain. Cara-cara ini menunjukkan bahwa perempuan seringkali dijadikan target utama dengan mengendalikan kerentanan dan cita-cita feminin dalam diri mereka. Sehingga benar sekali apa yang dikatakan Musdah Mulia bahwa “Meskipun perempuan dalam aksi terorisme adalah pelakunya,pada hakikatnya mereka tetap menjadi korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan mereka sendiri”.
Karena itu, diperlukan pelibatan penuh perempuan dalam pencegahan ekstrimisme kekerasan. Bisa jadi, perilaku ekstrim berawal dari pengalaman-pengalaman diskriminatif yang dialami perempuan akibat dari ideologi ekstrim atas nama agama. Dalam kitab-kitab Tafsir sebenarnya sudah banyak diceritakan bagaimana peran perempuan yang berani membongkar kezaliman dan perilaku ekstrim yang mereka alami baik dari masyarakat atau pasangannya.
Contohnya dalam Surat Al Mujadilah ayat 1-4 di mana ada kisah di balik turunnya ayat ini. Seorang sahabat perempuan yang bernama Khaulah binti Tsa’labah mengadu kepada nabi Muhammad terkait persoalan rumah tangganya. Khaulah mengadu bahwa suaminya kerap berlaku kasar kepadanya. Karena tidak mendapatkan solusi yang diinginkanya Khaulah akhirnya mengadu langsung kepada Allah. Itulah mengapa surat ini diberi nama Al Mujadilah yang artinya “perempuan yang saling berdebat dengan nabi”.
Surat An-Nur ayat 33 juga turun karena pengaduan seorang budak perempuan bernama Musaikah kepada nabi. Musaikah mengadu bahwa dirinya mengalami ekslpoitasi seksual oleh tuannya. Allah lantas mengabadikan kisah tersebut dalam Al-Qur’an dengan menurunkan ayat yang melarang siapa pun untuk memaksa anak-anak gadisnya melakukan pelacuran.
Selain dalam Al-Qur’an, cerita-cerita perempuan yang berani menyuarakan kezaliman juga terekam dalam syarah-syarah hadist. Seperti yang tertuang dalam kitab Fathul Bari, syarah Shahih Bukhari. Dalam kitab tersebut dikisahkan 70 orang perempuan yang melakukan demostrasi kepada nabi akibat kekejaman suami yang telah memukul mereka. Karena keberanian perempuan-perempuan inilah kemudian nabi bersabda “laisa ha ulai bi khiyarikum” yang artinya “mereka yang memukul istrinya bukan manusia-manusia terbaik”.
Kisah-kisah yang terekam jelas dalam Al-Quran maupun riwayat hadis memberikan insight bahwa kita tidak bisa menafikan pelibatan perempuan. Allah menyerukan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai khalifah di bumi. Keduanya sama-sama mempunyai tanggung jawab menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan kemunkaran. Hal tersebut tertuang jelas dalam surat At-Taubah ayat 71: “Mukmin laki-laki dan mukmin perempuan Sebagian mereka adalah penolong bagi Sebagian yang lain sama-sama memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran”
Karakter perempuan yang cenderung feminine dan welas asih menjadikan dia peka terhadap peristiwa atau konflik yang ada di sekitarnya. Mereka mempunyai potensi untuk menjadi inisiator perdamaian. Sebagai penengah, juru damai maupun tempat berlindung bagi korban maupun pelaku konflik atau kekerasan. Perempuan yang mempunyai peran sebagai istri dan juga ibu tentu akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keluarganya agar terhindar dari ideologi-ideologi ekstrimis.
Dengan melihat potensi tersebut, maka penting untuk memberikan pemahaman kepada perempuan bahwa mereka mempunyai kuasa atas dirinya sendiri. Mereka punya kuasa atas semua pilihan-pilihan dalam hidupnya sehingga relasi-relasi sosial yang terbangun harusnya adalah relasi yang seimbang, begitu juga dalam rumah tangga. Tidak boleh ada pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi atau tidak berdaya. Semuanya harus didasarkan pada kesepakatan bersama dan juga kesalingan.
Ekstrimisme adalah salah satu kemunkaran yang nyata, terlebih jika disertai dengan tindak kekerasan. Apalagi, tindak kekerasan dan sikap ekstrem sangat dekat dengan perempuan dalam konteks mereka sebagai kelompok yang rentan. Maka pelibatan perempuan dalam pencegahan ekstrimisme dan seluruh dimensinya menjadi sangat penting untuk dilakukan.