M. Dawam Raharjo dalam bukunya yang berjudul “Fanatisme dan Toleransi” mengemukakan 4 hipotesa yang mendasari munculnya gerakan Islam radikal di Indonesia. Pertama, adanya pengaruh gerakan radikal Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Islam Taliban, Hizbut Tahrir, Wahabisme Saudia Arabia, Al-Qaeda. Semua organisasi tersebut memiliki tujuan untuk menegakkan syariat Islam di semua lini kehidupan. Kedua, adanya kebebasan demokrasi sehingga membuka kelompok Islam radikal. Ketiga, gagalnya penegakan hukum pemerintah sehingga menimbulkan hasrat menegakkan negara khilafah. Keempat, gagalnya gerakan dakwah Islam yang toleran terhadap keyakinan beragama yang berbeda-beda.
Isu gerakan Islam radikal di Indonesia telah merambah dunia pendidikan dan secara langsung tidak langsung telah menyeret “nama baik” pondok pesantren. Pemahaman tentang realitas isu ini menjadi penting. Agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam perspektif yang dapat menganggu kehidupan santri yang tengah belajar dan mencari ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren mempunyai nilai historis terhadap gerakan sosial keagamaan di Indonesia.
Hal ini karena pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia di mana pesantren mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat pada zaman dahulu hingga sekarang. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat juga mendapatkan dukungan dan apresiasi sehingga selalu terjalin hubungan yang harmonis. Pondok pesantren selama ini telah memiliki banyak peranan karena telah memberikan kontribusi yang sangat penting di bidang sosial keagamaan. Yakni, dengan memberikan pengetahuan pendidikan Islam dan mencetak agamawan serta intelektual muslim. Pesantren sejak dulu telah mengajarkan dan membentuk perilaku santri yang memiliki keislaman yang kaffah dan berwawasan luas.
Banyaknya stigma negatif dari masyarakat tertuju pada pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris dan juga penyebar bibit radikalisme, meski klaim tersebut tidak sepenuhnya salah. Bahkan ilmuwan Barat juga meyakini bahwa kelompok Islam radikal diilhami oleh ajaran dan perintah yang secara fundamental berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah, seperti Jihad, syariat, ekonomi, politik, kepemimpinan, dan sebagainya. Meski demikian, klaim itu tidak sepenuhnya benar karena tidak semua pesantren di Indonesia mengajarkan dan terlibat dalam aksi radikalisme dan terorisme.
Posisi pesantren di Indonesia juga tidak bisa disama ratakan dalam isu radikalisme. Pohl mengatakan bahwa pesantren di Indonesia berbeda dengan sekolah agama di Pakistan atau Afghanistan. Bahkan pesantren sebenarnya telah membantu membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Lebih lanjut pada Tahun 2022 BNPT telah merilis bahwa 198 pondok pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme. Meskipun hanya sekitar 0.007 persen dari jumlah seluruh pondok pesantren di Indonesia.
Namun data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang telah melakukan infiltrasi dan kamuflase di semua lini kehidupan. Hasil pemetaan dan monitoring ini juga menjadi rujukan untuk meningkatkan kewaspadaan bagi semua pemangku kepentingan. Adapun penyebab kalangan pesantren berpaham radikal yaitu,
Pertama sumber ilmu yang berkembang di pesantren mengacu pada ulama kontemporer-konservatif yang sebelumnya disebut sebagai ulama radikal dengan pemahaman Al-Qur’an dan hadis yang cenderung tekstual, kaku, dan tegas. Ditambah dengan pemahaman agama yang cenderung eksklusif, fanatik, klaim kebenaran, normatif, dan subjektif. Kedua, sosok atau figur kyai yang berpaham atau mengajarkan radikalisme akan diikuti secara utuh tanpa ada pertanyaan atau kritik dari santrinya. Secara sosok kyai adalah figur sentral dalam lingkungan pesantren, sehingga apa yang diajarkan kyai akan diikuti oleh santrinya secara takdzim.
Namun pada dasarnya membaca dan mengamati dunia pesantren di Indonesia tidak bisa dilakukan secara parsial, yang kemudian digeneralisasikan. Sebab dapat dipahami bahwa diskursus tentang hubungan pesantren dan radikalisme mengacu pada dua kemungkinan. Pertama, pesantren yang hadir di tengah-tengah masnyarakat mengimpor pola pendidikan luar negeri (negara basis Islam radikal). Kedua, perspektif Islam bersifat tekstual-skripturalistik. Sehingga pemahaman kontekstual teks agama (Al-Qur’an dan Hadis) menjadi kurang.
Menurut Saleh dkk, pesantren dapat melakukan upaya deradikalisasi dengan sepuluh poin. Pertama, realisasi kembali sumber belajar yang mengangkat nilai HAM dan toleransi. Kedua, memperkuat anti radikalisme dengan cara yang baik. Ketiga, peningkatan literasi dan diskusi. Keempat, mendidik nilai-nilai nasionalisme yang juga ditekankan dalam ajaran Islam. Kelima, mempromosikan nilai-nilai moderatisme. Keenam, menerapkan konsep teologis Aswaja. Ketujuh, memprakasai kurikulum anti radikalisme. Kedelapan, melaksanakan manhaj yang benar. Kesembilan, merumuskan halaqa (pertemuan dengan ulama). Kesepuluh, memperkuat persahabatan dan persaudaraan.
Pesantren dengan kultur asli Indonesia bukanlah sumber radikalisme, tetapi sumber anti radikalisme dan seutuhnya dalam upaya mewujudkan perdamaian yang harmoni di dunia. Pesantren ke depan harus terus menjadi garda terdepan dalam melawan kelompok yang salah dalam pemaknaan jihad dan syariat Islam. Dengan terus mendakwahkan Islam yang ramah, progresif, inklusif, moderat serta Islam yang Rahmatan lil ‘alamin.