Fenomena Ekstremisme Kekerasan di Afrika Barat
Dalam beberapa tahun terakhir, krisis sosial ekonomi global akibat pandemi mengakibatkan semakin banyak anak muda di Afrika frustasi. Alasan tersebut membuat anak muda memilih bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis yang menjanjikan “harapan-harapan” baru. Di sebagian wilayah Afrika Barat, sejumlah kelompok teroris tadi—termasuk Boko Haram, Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM) bahkan membangun basecamp untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar.
Menurut prediksi sementara dari PBB, potensi terorisme dari jaringan radikal yang ada di Afrika mewabah juga di negara-negara yang sebelumnya kondusif. Menurut laporan sementara dari pihak keamanan internasional, potensi tindak kekerasan sudah muncul di Nigeria, Mali, Niger, Burkina Faso, dan negara lain di Cekungan Sahel dan Danau Chad. Kondisi ini tentu berpotensi mendatangkan gangguan keamanan berkelanjutan karena mereka bisa jadi akan meluncurkan serangan sewaktu-waktu.
Untuk meminimalisir ancaman terorisme dan tindakan kekerasan lainnya, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), dengan dukungan signifikan dari mitra eksternal. Kemudian, terus mencoba untuk mengembangkan berbagai strategi militer untuk menekan berkembangnya jaringan ekstremis ini. Mereka beranggapan bila tindak teror dibiarkan terus menerus, dampak negatif dari aktivitas terorisme ini tentu akan membuat masyarakat awam semakin tak berdaya.
Contohnya adalah peristiwa yang terjadi di Lake Chad Basin di mana Boko Haram dan Islamic State West Africa Province (ISWAP) terus membombardir desa-desa terpencil yang mengakibatkan sekitar 2,5 juta jiwa harus mengungsi. Selain kondisi yang semakin tidak aman, para orangtua juga harus merawat anak-anak mereka yang menderita malnustrisi karena kesulitan mendapat bahan pangan. Pun, bila ada makanan yang didonasikan kepada mereka, jumlahnya sering tidak cukup. Tak heran sekitar 515 ribu anak kekurangan gizi dan tidak dapat tumbuh secara optimal. Pada saat yang sama banyak warga kehilangan mata pencaharian sebagai petani karena lahan-lahan pangan dirampas paksa oleh kelompok teroris. Bahkan kelompok tersebut merebut dan memperluas wilayah.
Di sisi lain, jika masyarakat lokal berupaya untuk bermigrasi ke tempat yang lebih baik, mereka dihadapkan risiko penculikan dan penyanderaan oleh kelompok teroris ketika berada dalam perjalanan. Dengan segala risiko keamanan tadi, akhirnya banyak warga yang hanya bisa pasrah, dan menunggu bantuan pihak pemerintah dan mitra militer internasional untuk membantu mereka keluar dari wilayah yang diklaim oleh kelompok teroris.
Dinamika Kebijakan Melawan Terorisme
Namun, melibatkan pihak ketiga seperti tentara keamanan PBB bukan tanpa risiko. Masuknya anggota militer asing ke beberapa wilayah di Afrika Barat dengan senjata dan perlengkapan yang canggih juga menimbulkan efek negatif tersendiri. Contohnya saja penggunaan drone oleh militer Amerika Serikat dengan alasan melumpuhkan sarang teroris. Akibat yang ditimbulkan ternyata tak hanya menghancurkan pangkalan grup radikal saja, tapi juga membuat tanah ladang di sekitar yang digunakan warga bercocok tanam menjadi tidak subur. Bahkan, bukan hanya anggota teroris yang akhirnya takluk, tapi sejumlah warga yang melintas di daerah tersebut turut menjadi korban salah sasaran.
Melihat perkembangan yang terjadi di sana, strategi militer memang tepat untuk membumihanguskan pangkalan kelompok radikal. Akan tetapi, secara jangka panjang pendekatan ini perlu dievaluasi dan diimbangi dengan taktik yang lebih humanis. Apalagi ketika tindakan militer yang dilakukan justru mengakibatkan penurunan drastis keanekaragaman hayati yang didorong oleh pengrusakan lahan akibat senjata militer, yang juga diperparah oleh perubahan iklim yang telah terjadi.
Perlu Solusi Komprehensif dalam Melawan Terorisme
Bila melihat mekanisme respons internasional dan regional terhadap teroris dan kegiatan ekstremis di wilayah tersebut yang berfokus pada pendekatan militer tradisional, yang selanjutnya mengabaikan keamanan manusia dan alam sekitar, tak heran bila kemudian terorisme semakin tumbuh dan berkembang di kawasan Afrika Barat. Selain mengabaikan bagaimana kegiatan terorisme bersinggungan dengan masalah kesejahteraan dasar warga, kejahatan transnasional terorganisir. Bahkan, konflik komunal, pemerintah di sana juga terlihat tidak mengakomodasi aspirasi warga terkait masalah yang ada.
Sehingga, minimnya partisipasi masyarakat berakibat pada rendahnya pemahaman pemerintah terkait penyelesaian persoalan jejaring terorisme. Dari sini, jika pemerintah serius ingin secara bertahap melumpuhkan jaringan terorisme, pemerintah perlu mempertimbangkan solusi untuk memecahkan masalah sosial ekonomi yang mendasari tumbuh suburnya radikalisme. Utamanya di kalangan generasi muda: pengangguran, minimnya akses pada fasilitas kesehatan dasar, pendidikan, air bersih, dan infrastruktur lain yang diperlukan oleh warga. Kalau hanya bergantung pada pendekatan militer semata, bisa dipastikan bahwa terorisme bukan semakin redup, tapi justru kian meluas dan tak terkendali.