Suatu ketika seorang anak berumur sembilan tahun bertanya kepada ayahnya mengenai perang yang terjadi di Palestina antara tentara Israel dan Palestina. Ketakutan seorang anak akan perang tersebut membuat pertanyaan besar, mengapa sang anak dengan tiba-tiba menanyakan hal yang membuat dirinya malah menjadi menangis ketakutan. Tidak sampai di situ, sang ayah semakin heran dan bertanya-tanya lantaran mengapa sekolah anaknya tidak ada upacara bendera, tidak ada menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan tidak ada bendera merah putih yang berkibar.
Sepenggal kisah tersebut adalah realitas bahwa radikalisme sudah masuk ke berbagai ranah dengan identifikasi dari perilaku yaitu sikap yang intoleran, anti-pancasila dan anti-NKRI. Radikalisme bisa muncul dari berbagai elemen termasuk dalam dunia Pendidikan. Bahkan memiliki potensi ancaman yang sangat berbahaya terlebih pada tindakan ekstrimisme dan terorisme. Prof. Azyumardi Azra berpendapat bahwa anak-anak sekolah menjadi target khusus rekrutmen kelompok radikalis. Beberapa penelitian juga membuktikan adanya upaya rekrutmen ke sekolah-sekolah, dengan melakukan cuci otak (brain wash) terhadap pelajar yang selanjutnya didoktrin dengan ideologi radikal tertentu.
Berdasarkan data yang dirilis Pusat dan Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai radikalisme bahwa sebanyak 57,03 % guru, baik pada level SD dan SMP memiliki pandangan intoleran di Indonesia. Senada dengan data yang dirilis oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menyebutkan bahwa 48,9 % siswa mendukung adanya tindakan radikal. Sementara 84,4 % siswa dan 76,2 % guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Adapun jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Wiktorowicz menyatakan bahwa permulaan dari proses radikalisasi yaitu pada saat seseorang mulai membuka dirinya terhadap ide-ide dan dunia baru yang dianggap benar dan meninggalkan pandangan lamanya. Pada tahap ini disebut cognitive opening, adapun keluhan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan personal merupakan faktor-faktor dari luar yang mendorong individu bergabung kedalam kelompok radikal. Selanjutnya yaitu tahap reeligius seeking, di mana seseorang mulai mencari makna dari keagamaan yaitu dengan turut aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan seperti diskusi maupun ceramah baik secara terbuka maupun tertutup.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ada 3 vaksin ampuh yang dapat melindungi pemuda Indonesia agar tidak terpapar virus radikalisme dan terorisme. Yakni, penguatan wawasan kebangsaan, moderasi beragama, dan budaya bangsa.
Pertama, wawasan kebangsaan dilakukan dengan menguatkan pendidikan kebangsaan di sekolah baik secara teori maupun praktik. Nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang telah disaring secara singkat dan jelas dalam butir-butir Pancasila harus terus diupayakan dan digembleng secara masif dalam tataran praktik agar lebih mengena dalam kehidupan pelajar.
Kedua, moderasi beragama adalah sikap beragama yang memiliki keseimbangan yang baik antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan dalam praktik beragama ini yang akan menghindarkan seseorang untuk bersikap ekstrem dan fanatik dalam beragama. Penanaman dan pengembangan moderasi beragama menjadi sangat penting agar tidak hanya membentuk kesalahen individu tetapi juga mampu menjadikan paham agamanya sebagai instrument untuk menghargai umat agama lain.
Ketiga, budaya bangsa melalui pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah upaya pencegahan tindakan radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah secara sistematis untuk mengembangkan potensi yang ada pada manusia dalam memahami keberagaman kebudayaan agar terwujudlah kehidupan yang rukun dan damai. Upaya tersebut terangkum dalam delapan langkah yaitu
(1) menawarkan keberagaman kurikulum yang melibatkan berbagai kalangan
(2) menyediakan fasilitas kepada peserta didik agar memahami keberagaman budaya di Indonesia sehingga tercipta iklim toleransi tanpa diskriminasi.
Kemudian
(3) memberikan pemahaman bahwa semua budaya di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan
(4) pemerintah melakukan penyelidikan terhadap isi pembelajaran yang disampaikan agar tidak terdapat unsur radikalisme
(5) meminimalisir kesenjangan sosial di masyarakat agar tidak terjadi ujaran kebencian
(6) bersama masyarakat berupaya mencegah radikalisme
(7) mendukung aksi perdamaian yang ada di masyarakat
(8) ikut aktif mensosialisasikan pencegahan radikalisme.
Pemberantasan radikalisme di Indonesia dalam dunia pendidikan sejatinya membutuhkan sinergitas yang kuat antara pemerintah dan masyarakat termasuk guru. Penyebaran radikalisme juga perlu dikawal bersama baik individu, masyarakat, lembaga maupun negara. Agar terciptanya iklim pendidikan yang sesuai dengan cita-cita bangsa.