Salah satu keunikan dan kekhasan yang saya temui ketika tinggal di Yogyakarta adalah keberadaan pondok pesantren waria. Pondok ini bernama Ponpes Al-Fattah yang diketuai oleh Ibu Sinta, panggilan akrabnya. Selayaknya pondok pesantren pada umumnya, kegiatan yang dilakukan tidak lain mengaji, dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Bedanya adalah, seluruh isi pondok merupakan waria yang sudah memilih jalan kehidupannya masing-masing.
“Kami ini waria, kami tidak bisa disembuhkan karena waria bukan penyakit, waria itu takdir bukan penyakit yang harus disembuhkan” (hlm.48) tercantum dalam bagian buku yang ditulis oleh Masthuriah Sa’dan yang berjudul, ‘Pesantren Waria’.
Saya masih ingat sebuah pertemuan pertama Ibu Sinta dalam suatu kegiatan yang bertempat di Yayasan LKiS. Pada waktu itu, saya bertemu ketika hendak melaksanakan sholat Jum’at. Saya yang kebetulan akan melaksanakan sholat dhuhur, akhirnya dipertemukan dalam satu ruang sholat yang berada di tempat itu. Kebetulan ia sedang melaksanakan sholat Jum’at via zoom. Ia yang berpenampilan layaknya perempuan, sontak membuat saya bertanya-tanya,
“Memang ada ya, sholat jumat terus imamnya via zoom dan jamaahnya ada di tempat jauh,” pertanyaan ini terngiang-ngiang dalam ingatan. Sepertinya Ibu Sinta memahami maksud dan kegelisahan saya.
“Saya sedang sholat Jum’at. Karena kata beberapa pendapat ulama, diperbolehkan untuk mengikuti sholat Jum’at secara online, dengan alasan pandemi dan alasan keselamatan lainnya,” ucapnya sambil tersenyum. Ia kemudian berlalu dan kembali ke forum yang sudah berlangsung.
Saya mendapati sebuah kata ‘keselamatan’ tersebut dengan berbagai pertanyaan dalam pikiran. Bagaimana keselamatan yang dimiliki oleh kehidupan waria? Apakah selama ini waria pernah mendapatkan pertentangan dan penolakan dalam hidupnya. Dalam tulisan Masthuriah, dijelaskan bahwa suatu hari pondok pesantren waria Al-Fatah digerebek dan disegel oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai Front Jihad Islam (FJI) karena kegiatan di pesantren dianggap melanggar syariat Islam.
Menurut Masthuriyah, dalam ulasannya menyebut jika kejadian penggrebekan di atas merupakan imbas dari menyebarnya isu LGBT tahun 2015. Konflik bermula ketika rombongan dari fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga mengunjungi ponpes yang akan menyusun proyek penulisan buku “Fiqih Marginal”. Namun dipublikasikan dengan judul “Pesantren Waria akan menyusun fiqih waria” oleh media online panjimas.com. Pemberitaan ini akhirnya menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama FJI.
Keberadaan waria dengan segala aktivitas yang dilakukan. Utamanya, yang berkaitan dengan agama akan menimbulkan reaksi keras dari kelompok Islam radikal yang tidak mau tahu persoalan waria dan LGBT. Di samping persoalan seksualitas yang melekat dalam diri seseorang, persoalan waria adalah bagaimana keselamatan hidupnya di tengah-tengah masyarakat yang masih anti terhadap kehidupan seorang waria.
Pandangan radikalisme seperti yang dianut oleh kelompok di atas bertentangan nilai-nilai kebangsaan yang menghargai perbedaan, menerima keragaman, dll. Sikap dan pandangan dengan penolakan semacam itu akan menghancurkan nilai-nilai dan menjadi ancaman integrasi bangsa.
Siapa Front Jihad Islam?
Front Jihad Islam (FJI) terbentuk pada mulanya dari beberapa mantan anggota FPI (Front Pembela Islam) yang terdiri kurang lebih 20 orang yang keluar karena tidak setuju dengan gerakan FPI yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam. di dalam FPI sendiri, terdapat divisi LPI (Laskar Pembela Islam) yang bergerakd di lapangan. Semangat LPI ini yang menjadi landasan gerakan FJI untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada masyarakat.
Jargon yang dimiliki oleh FJI adalah “belajar amar ma’ruf nahi munkar”. Beberapa gerakan yang dilakukan dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya: Pertama, aparat sering kali tidak tegas menindak perilaku maksiat. Kedua, jika ada maksiat berjalan, maka aparat yang mendukung. Ketiga, banyak ormas besar, tetapi tidak atau bahkan jarang sekali melakukan aksi nahi munkar dengan terjun langsung ke lapangan. Keempat, Di lapangan banyak aduan dari masyarakat, utamanya jual beli akidah dan perilaku maksiat.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita memahami bahwa FJI adalah kelompok radikal yang akan mengancam keselamatan warga minoritas yang di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Melihat ancaman ini, barangkali menjadi salah satu pijakan kesadaran tentang usaha kolektif yang perlu dilakukan untuk terus melakukan upaya agar bisa melindungi seluruh kelompok. Wallahu a’lam