35.2 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Miskonsepsi Makna Ummah

Istilah Ummah hingga saat ini masih menjadi istilah generik yang digunakan untuk masyarakat muslim. Ummah masih didefinisikan sebagai kelompok yang di dalamnya adalah orang-orang Islam. Sehingga di kalangan muslim sendiri kesatuan ummah masih menjadi hal yang mendasar. Dalam tataran yang ektrim, kata ummah bahkan dijadikan term untuk menjustifikasi aktifitas keagamaan, sosial-ekonomi dan politik.

Sebagai sebuah konsep ideologis-politis, ummah seringkali dipahami dengan sisi ekslusifnya. Tentu ini tidak lepas dari kenyataan sejarah di mana Islam memiliki tradisi politik yang Panjang sejak agama ini dilahirkan sampai puncak kejayaannya di masa Turki Usmani. Pengalaman silam kaum muslim itulah yang kemudian menjadi faktor utama perbedaan cara pandang terkait konsep ummah, utamanya yang dimiliki kelompok Islamis. Sebagaimana kita tahu, kelompok ini sangat anti dengan konsep apapun yang berasal dari Barat.

Hizbut Tahrir misalnya, melihat ummah sebagai kelompok orang yang mengikuti dan memeluk agama Islam di wilayah negara Islam. Penduduk nonmuslim yang tinggal di negara Islam disebut dzimmi dan dilihat sebagai warga kelas dua. Gagasan ini mengacu pada bentuk klasik negara Islam yang kewargaannya dibedakan tidak hanya dalam keanggotaan komunitas politik, melainkan juga dengan afiliasi keagamaan.

Nawaf A. Salam dalam “The Emergence of Citizenship in Islamdom” mengatakan bahwa pada masa awal pembentukan ummah, Islam tidak mengenal konsep kewarganegaraan dan ummah sebagai komunitas politik. Semuanya betul-betul didasarkan pada teks normatif keagamaan, sehingga kaum dzimmi (non-muslim) berada di luar kualifikasi sebagai ummah. Mereka tidak menikmati hak-hak yang sama sebagaimana yang diperoleh umat muslim, tetapi juga tidak mendapatkan kewajiban seperti halnya kewajiban yang harus dilakukan penduduk muslim.

Kembali lagi, gagasan tersebut hadir dilandaskan pada pengalaman silam kaum muslim di mana konsep Negara Bangsa belum hadir. Namun, apakah pemaknaan yang sempit dan ekslusif seperti itu menjadi satu-satunya yang harus digunakan, apalagi dalam konteks Indonesia sebagai sebuah Negara Bangsa?
Dualisme Konsep Ummah

Istilah Ummah disebutkan 64 kali dalam AL-Qur’an dalam 24 surat dengan konteks yang beragam. Istilah ummah sering diasosiasikan dengan qabilah, qawm,sya’b thabaqah, dan jami’ah. Namun secara garis besar, ada dua model pemaknaan terhadap ummah yang diformulasikan dalam masyarakat muslim, yaitu ummah dalam makna inklusif dan ummah dalam makna ekslusif.

Bila kita kaitkan konsep ummah ini dengan konsep negara pada awal Islam, para ilmuwan banyak yang merujuk pada Piagam Madinah. Dokumen ini dipercaya sebagai bentuk awal negara dan merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam pada awal pembentukannya, yang ternyata terdapat konsep ummah dari sisi inklusif maupun ekslusif.

Dalam Piagam Madinah pengertian ummah beserta cakupan maknanya dipergunakan dalam dua model dalam pasal yang berbeda. Pertama dipakai untuk menyebut komunitas seagama seperti umat Islam, umat Yahudi dan sejenisnya. Dalam pasal ini disebutkan bahwa kaum muslim dan mukmin dari kalangan Quraish dan Yastrib serta mereka yang bergabung dan bekerjasama mereka adalah satu ummah. Dengan demikian, terma ummah dalam pasal ini memiliki makna organisasi yang diikat oleh akidah Islam. Sehingga cakupan ummah cenderung homogen dan ekslusi, yaitu terbatas pada kalangan seagama saja, yaitu Islam.

Kedua, dipakai untuk menyebut komunitas yang tergabung dalam satu kesatuan politik dimana sangat pluralistik dan terdiri dari berbagai agama, suku dan ras. Hal ini bisa dilihat di pasal 25 piagam Madinah yang berbunyi: “Kaum Yahudi dari Bani Uwf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, bagi kaum musimin agama mereka”.

Dapat dilihat, Nabi Muhammad sebagai kepala Negara tidak menentukan kepemelukan agama Islam sebagai syarat kewarganegaraan. Sifat inklusif ummah juga terlihat dari bagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 13, bahwa orang yang paling baik di sisi Allah adalah dilihat dari ketakwaannya, bukan pada latar belakang bangsa dan kesukuannya.

Fleksibilitas Konsep Ummah
Melihat fakta di atas, serta melihat dalam konteks modern, ummah berada di luar bingkai konsep Negara Bangsa. Dalam konteks Negara Bangsa, Citizenship atau kewarganegaraan diartikan sebagai status yang diberikan kepada anggota atau warga suatu komunitas. Mereka yang memiliki status tersebut setara dan sederajat untuk memperoleh hak dan mendapatkan kewajibannya, setidaknya itu idealnya walaupun dalam realitasnya kontruksi kewarganegaraan sangat komplek. Bisa kita lihat bahkan di era modern saja, perempuan, para pengungsi dan kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi oleh negara maupun komunitas.

Karena itu, ummah dalam konteks tertentu tidak bisa disepadankan dalam konsep citizenship dalam pengertian masyarakat Barat. Namun, justru dengan kata ummah itulah kaum muslim memiliki fleksibilitas dalam penggunaannya. Ummah bisa dilekatkan pada suatu komunitas kecil penganut agama tertentu, pada kelompok muslim di suatu negara, pada keseluruhan masyarakat Islam tanpa mengenal batasan geografis maupun negara, juga pada keseluruhan manusia tanpa dibedakan secara agama.

Ummah Dalam Kebhinekaan
Hampir tidak ada stupun negara yang monolitik secara budaya, agama dan etnik dalam komposisi demografi penduduknya. Hampir dipastikan selalu ada kelompok minoritas yang “berbeda” sehingga kebhinekaan selalu hadir. Di sinilah kemudian sistem politik suatu negara diuji, apakah dapat mewujudkan demokratitasi atau sebaliknya penuh dengan tindak diskriminasi.

Konsep kewarganegaraan dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim memang perlu ditelaah ulang. Sebagai salah satu negara paling plural di dunia Indonesia dihadapkan pada persoalan-persoalan dasar yang menyangkut hak warga negaranya. masih banyak yang menggunakan terma ummah untuk mendiskriminasi kelompok lain yang berbeda dengan arus utama. Karena itu perlu adanya universalisasi makna ummah.

Fleksibilitas konsep ummah dapat dipakai untuk mentransformasikan makna ummah menjadi lebih luas. Yang awalnya merujuk pada sekelompok orang dengan identitas agama tertentu misalnya kaum muslim, menjadi umat manusia yang lebih universal. Contohnya dalam isu kemanusiaan seperti solidaritas dan gotong royong di mana itu menjadi agenda dan dikampayekan oleh semua umat beragama. Tidak hanya umat muslim saja. Ummah dapat dimaknai sebagai umat manusia yang satu sama lain saling membutuhkan dan membantu untuk mencapai tujuan lebih besar bagi peradaban.

Kecurigaan berlebihan terhadap Barat dapat menyebabkan keterkungkungan umat Islam. Memang terma ummah dan citizenship dalam konsep negara bangsa secara artifisial bertentangan satu sama lain, namun sebagaimana digambarkan sejarah tidak mengharuskan kesatuan sosio-politik yang tunggal. Al-Qur’an dan fakta sejarah Justru memberikan pandangan universal sebagai nilai positif bagi pembangunan manusia yang lebih maslahat.

TERBARU

Konten Terkait