29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Belajar Toleransi dari Dusun Onggosoro Magelang

Menyebut Kabupaten Magelang, yang terlintas dalam benak kita tentunya candi Borobudur. Sebuah peninggalan sejarah peradaban Budha yang telah mendunia. Tak jauh dari situ, sekitar 4 KM dari Borobudur, terdapat sebuah desa percontohan yang menerapkan toleransi antar sesama pemeluk agama dan juga penghayat. Ialah dusun Onggosoro, desa Giritengah, kecamatan Borobudur Magelang. Sebuah dusun yang didalamnya terdapat berbagai macam pemeluk agama dan penghayat.

Pemeluk agama Islam, Kristen, Budha, dan penghayat Urip Sejati hidup berdampingan dengan rukun. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka membaur nyaris tanpa sekat. Saling berkunjung antara satu dengan yang lainnya, dan saling menghadiri undangan peringatan agama dan penghayat antara satu dengan yang lainnya. Terdapat empat nilai dasar yang dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari di Dusun Onggosoro, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Magelang.

Keempat nilai dasar ini menjadi landasan masyarakat dalam menjalin relasi antar satu dengan yang lainnya. Dengan memegang teguh keempat nilai dasar tersebut, maka perbedaan keyakinan tak jadi penghalang antar satu dengan yang lainnya untuk menjalin relasi.

Nilai Dasar Kemanusiaan di Onggosoro
Keempat nilai tersebut adalah toleran (tasamuh), keadilan (al’adl), keseimbangan (tawazun), persamaan (taswiyah). Penjelasan tentang keempat nilai tersebut adalah sebagai berikut ini:

Pertama, Toleran (tasamuh). Toleransi adalah sikap saling menghargai antar sesama manusia walaupun dengan pihak yang berbeda pendapat. sikap tolerans ini bisa dimunculkan dengan melatih kesabaran, ketahanan emosional, dan juga kelapangan dada. Nilai toleransi ini sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat di Onggosoro. Meskipun berbeda secara keyakinan, namun mereka saling menghadiri peringatan agama di agama lain.

Pada saat perayaan Idul Fitri misalnya. Pemeluk Nasrani dan juga penghayat Urip sejati juga melakukan anjangsana ke rumah muslim untuk mengucapkan selamat Idul Fitri dan bermaaf-maafan sebagaimana dalam tradisi Islam. Begitupula pada saat perayaan Natal, muslim dan penghayat juga memberikan ucapan selamat dan ikut menghias pohon natal.

Kedua, keadilan. Adil adalah suatu kondisi tidak berat sebelah, berpihak pada kebenaran, bersifat obyektif. Sehingga seseorang yang adil tidak memihak karena kecenderungan yang subjektif. Nilai keadilan ini tampak dalam dunia Pendidikan anak-anak. Penghayat Urip Sejati memiliki sebuah Lembaga Pendidikan taman kanak-kanak. Meskipun didirikan oleh Penghayat Urip Sejati, namun guru dan murid yang ada didalamnya berasal dari beragam agama dan keyakinan. Nilai dasar yang diterapkan di TK adalah nasionalisme. Dengan nasionalisme, mereka meyakini ahwa perbedaan agama dan keyakinan bukan menjadi penghalang untuk memanusiakan yang lainya.

Ketiga, Keseimbangan. Keseimbangan adalah sikap berimbang antara hubungan ke sesama manusia dan hubungan dengan Tuhan. Ketika beribadah menurut agama dan keyakinan masing-masing, semua memfokuskan kepercayaan pada Tuhan sebagaimana mereka yakini. Ketika bersosialisasi dengan pemeluk agama dan keyakinan lainnya, mereka memberikan ruang bagi yang lain untuk mengekspresikan keyakinan masing-masing. Mereka juga meyakini bahwa menjalin relasi yang manusiawi antar pemeluk agama dan keyakinan lain tidak akan menggoyahkan keimanan mereka pada Tuhan yang diyakini.

Hal ini tampak pada saat masyarakat penghayat Urip Sejati misalnya, mereka tetap menghadiri undangan genduren dari muslim. Ketika muslim membaca doa, penghayat Urip Sejati ikut menundukkan kepala dan memanjatkan doa sesuai dengan keyakinannya. Mereka meyakini bahwa doa baik yang dipanjatkan akan kembali dalam bentuk kebaikan yang sama.

Keempat, nilai kesetaraan. Kesetaraan berarti memberi akses dan kesempatan yang sama bagi semua pemeluk agama dan keyakinan untuk mengakses segala hal tanpa memandang latar belakang keyakinan dan agama. Nilai kesetaraan ini terlihat dalam proses pemilihan apparat Desa. Semua warga, tanpa terkecuali diberikan akses dan kebebasan untuk mengikuti seleksi dan menjabat sebagai aparatur Desa.

Mereka mengikuti seleksi dan dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Bukan didasarkan pada keyakinan dan kepercayaan. Mereka meyakini bahwa apapun agama dan keyakinan orang, tidak boleh dijadikan penghalang untuk mengakses ruang public secara bersama-sama.

Empat nilai dasar kemanusiaan yang diterapkan di Desa Onggosoro Giritengah Borobudur Magelang ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi Desa lain. Bahwa dalam relasi masyarakat, seyogyanya dijalankan atas dasar kemanusiaan. Perbedaan agama dan keyakinan tak boleh menjadi penghalang seseorang untuk memanusiakan manusia lainnya. Relasi baik dengan sesame adalah bukti bahwa seseorang menjalankan agamanya dengan baik.

TERBARU

Konten Terkait