29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Hukuman Kolektif dari Terorisme, Melahirkan Ekstrimis Baru?

“Tidak ada dalih agama atas nama terorisme”. Saya yakin semua sepakat dengan kutipan tersebut. Namun sayangnya fenomena ini sangat dekat dengan isu agama, terlebih Islam. Simbol-simbol Islam seringkali dipakai dalam aksi-aksi ekstrimis dan teroris yang terjadi di seluruh belahan dunia. Penggunaan simbol-simbol tersebut kemudian berdampak tidak hanya kepada pelaku dan korban, tetapi bahkan umat Islam secara keseluruhan. Padahal mereka tidak tahu-menahu dan tidak ada kaitannya dengan aksi-aksi tersebut.

Ketika pelaku teroris melakukan aksinya dengan bom bunuh diri, atau dipenjara jika mereka gagal,maka urusan ini sering dianggap selesai. Padahal, bagi keluarga terutama bagi perempuan dan anak-anak, persoalan ini tidak berakhir begitu saja. Pada akhirnya aksi yang dilakukan pelaku tersebut mendatangkan persoalan baru yaitu berupa hukuman kolektif yang tidak hanya berdampak pada keluarga pelaku, namun juga pada kelompok ras, etnis dan agama tertentu yang mungkin tidak terkait secara langsung terhadap pelaku.

Misalnya, ketika terjadi penangkapan terduga teroris, media kemudian menyoroti dan mengidentifikasi pelaku teroris melalui jenggot, celana di atas mata kaki, dan istrinya yang bercadar. Hal ini kemudian mengarahkan pada stigma bahwa mereka yang celananya di atas mata kaki dan berjenggot, atau perempuan bercadar identik dengan pelaku teroris. Hukuman kolektif ini bisa diartikan sebagai pembalasan dari masyarakat secara kolektif terhadap anggota keluarga,teman, tetangga, atau komunitas yang menjadi tempat asal ataupun identitas pelaku.

Dari sini bisa dibayangkan bagaimana kemudian para istri dan anak-anak pelaku teroris harus menanggung resiko dari kejahatan yang tidak mereka lakukan. Mereka harus menanggung hukuman sosial berupa sindiran, pengucilan dan penolakan, serta stigma bahwa kehadiran mereka adalah musuh bersama atas dosa yang dilakukan suami, orang tua atau individu dari komunitas masyarakatnya. Padahal di sisi lain mereka harus bekerja keras untuk menyambung hidup. Apalagi jika itu terjadi di kawasan atau negara di mana mereka menjadi muslim minoritas.

Dalam survey yang diselenggarakan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) Washington D.C. menemukan peningkatan Islamophobia di kalangan warga AS. Dalam skala 0-100 indeks islamophobia mencapai 17- skor yang cukup tinggi dibandingkan sikap anti terhadap agama-agama lain. Hal ini dikarenakan sebagian besar warga Amerika mendukung persepsi stereotipikal bahwa muslim gemar melakukan aksi ekstrimis kekerasan dan misogini, bahwa muslim agresif terhadap AS, bahwa mulim menunjukkan gejala dehumanisasi, dan bertanggungjawab secara keseluruhan atas kekerasan individu muslim.

Stigma dan stereotipe tersebut kemudian memicu perlakuan diskriminasi terhadap warga muslim di sana. Bahkan pernah terjadi pelecehan seksual di mana ada seorang mahasiswi muslim yang dipaksa membuka pakaiannya untuk digeledah petugas bandara hanya karena dia berjilbab. Tidak hanya di Amerika, hal serupa juga terjadi di Prancis di tahun 2015 di mana perempuan mendapat pelarangan menggunakan jilbab di tempat-tempat umum. Bahkan di Indonesia, anggota eks Gafatar terpaksa diusir dari Kalimantan Barat karena masih dianggap sebagai bagian dari aliran sesat.

Meskipun belum mengarah pada tindakan pembantaian massal, namun benih-benih diskriminasi akibat dari hukuman kolektif tersebut terlihat dari berbagai sektor kehidupan. Di lingkungan sekolah misalnya, anak-anak kemudian mendapat perlakuan bulliying dengan dipermalukan bahkan dianiaya. Dalam lingkungan kerja, bisa saja mereka tidak terpenuhi hak-hak sebagai tenaga kerja dan dalam hal promosi jabatan. Belum lagi di kehidupan social di mana mereka dikucilkan, diacuhkan,dihina bahkan diusir dari lingkungan masyarakatnya.

Benih-benih tersebut sangat mungkin melahirkan generasi-generasi ektrimis baru karena tdak memiliki control social atas tindakannya untuk menuntut pembayaran dan balas dendam. Jik dibiarkan, bisa saja nanti berujung pada genosida atau pembantaian masal komunitas tertentu. Diperlukan adanya pengaturan dari otoritas berwenang yang memperhatikan isu ini agar bisa dimasukkan dalam suatu tata Kelola atau peraturan perundang-undangan.

Terlebih, dari semua kasus yang disebutkan tersebut bisa dilihat bahwa yang menjadi korban dari hukuman kolektif ini mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka adalah kelompok rentan yang selalu menjadi sasaran berbagai ancaman tindak kekerasan sebagaimana dimaksud. Mereka tidak berdaya melawan serangan fisik maupun psikis yang terjadi pada diri mereka.

Karena itu menurut saya, kehadiran RAN PE memberikan angin segar di tengah kompleksitas permasalahan ektrimisme. RAN PE kemudian menjamin proses pelaksanaan aksi pencegahan ekstrimisme menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan, pengarusutamaan gender (PUG) dan pemenuhan hak anak, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintahan yang baik, partisipasi pemangku kepentingan yang majemuk, serta kebhinekaan dan kearifan lokal.

Khususnya terkait rehabilitasi dan reintegrasi yang bukan hanya untuk napiter saja, namun juga keluarga napiter sekaligus masyarakat secara umum. Yaitu tentang bagaimana interaksi sosial masyarakat terhadap para mantan napiter dan juga keluarganya, yang bisa mengarahkan pada resiliensi di masa mendatang. Karena lagi-lagi, tindakan hukuman kolektif yang tidak dikelola dengan baik hanya akan berdampak pada lahirnya generasi-generasi ekstrimis dan teroris baru.

TERBARU

Konten Terkait