Kemarin saya menikmati Diorama arsip Jogja. Ia merupakan sebuah museum yang menyajikan tentang Yogayakarta di masa silam. Mulanya saya tidak terlalu excited untuk mengujungi tempat tersebut dengan beberapa alasan. Namun, ketika sampai di sana, justru saya berterimakasih kepada diri sendiri karena sudah berkenan untuk mengunjungi tempat itu.
Selain karena tempatnya yang ciamik, ada banyak hal yang saya pelajari dari setiap ruangan yang disajikan dalam tempat itu. Misalnya begini, dalam salah satu ruangan, terdapat momentum kongres perempuan Indonesia, ketika Siti Soendari menyampaikan pidatonya.
“Kewajiban perempuan yang pertama-tama yaitu bekerja bersama-sama, supaya tumpah darah kira ini menjadi suatu tanah yang berbahagia, tanah yang beruntung baik.”
Membaca kalimat tersebut, rasanya saya kembali pada sebuah ingatan ketika kongres perempuan Indonesia dilaksanakan. Kongres Perempuan dilaksanakan pada 22 Desember 1928 atas prakarsa Suyatin (sebelum mendirian Perwari adalah aktivis perempuan Boedi Oetomo), Nyonya Soekonto, nyi Hajar Dewantoro. Namun, para perempuan yang memprakarsai adanya kongres tesebut berhalangan hadir, sehingga Sitti Soendari yang menyampaikan pidato di atas dalam bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda seperti yang dilakukan oleh Kongres Sumpah Pemuda.
Sementara itu, dalam menetukan pokok persamaan hak dan persatuan Indonesia, pada butir keempat disampaikan bahwa: “Untuk mewujudkan persatuan Indonesia itu perlu dipertegas hak yang sama untuk wanita dan pria terhadap Tuhan dan Dunia. Untuk itu diperlukan perluasan lapangan gerak, yang memungkinkan kedudukan dan peranan wanita Indonesia dapat membuka harapan-harapan Nusa dan Bangsa.”
Dalam kongres ini ada 3 tokoh yang berpidato tentang persamaan hak dan persatuan Indonesia yakni:
Bhader Johan, Nona Stien Adam dari Minahasa dan Tuan Djaksodipoero dari Solo. Ketiga tokoh ini membahas bagaimana posisi perempuan untuk Indonesia, utamanya dalam pemberian ruang bagi perempuan agar bisa mengeksplor kemampuan dirinya sehingga bisa memberikan kebermanfaatan untuk bangsa Indonesia. Posisi ini sangat penting untuk dibicarakan karena akan meneguhkan posisi perempuan dalam publik utamanya pemberian akses yang luas agar sama-sama memberikan kontribusinya untuk Indonesia.
Ingatan ini serupa ketika saya melihat Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke II yang dilaksanakan November tahun 2022 silam. Keberadaan KUPI yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, bunyai, kiai dan para aktivis dari berbagai kalangan, menjadi potret kongres perempuan Indonesia masa kini. Hanya saja perbedaannya terletak pada nilai-nilai Islam yang menjadi pijakan dan pondasi dari gerakan yang dilakukan.
Selama ini, KUPI II selalu mengangkat tema yang erat kaitannya dengan perempuan karena relate sekali dengan kegelisahan masyarakat. masalah-masalah sosial yang sangat merugikan perempuan seperti khitan, pemaksaan pernikahan hingga kepemimpinan perempuan, menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dikaji dari pihak perempuan sendiri. Pada kenyataannya kongres ini tidak hanya diikuti oleh perempuan saja. Akan tetapi terdapat laki-laki dari berbagai kalangan seperti akademisi, kiai, dan aktivis yang juga turut andil menyuarakan masalah-masalah perempuan.
Implifikasi Masalah Perempuan dan Kebangsaan
Masalah perempuan adalah masalah bangsa Indonesia. Sebab hal itu terjadi karena budaya patriarki dan kontruksi sosial yang terbentuk oleh masyarakat. Suara-suara untuk menegakkan keadilan dan memberikan ruang bagi perempuan agar memiliki kehidupan yang setara dengan laki-laki. tidak bisa didapatkan begitu saja. Proses yang harus dilalui sangat panjang seperti halnya gerakan-gerakan, kajian dan diskusi hingga dialog masalah-masalah perempuan dengan menggunakan pendekatan dari berbagai perspektif.
Salah satu masalah yang diangkat oleh KUPI adalah perempuan dan kebangsaan yang di dalamya terdapat pembahasan posisi perempuan dan gerakan radikalisme dan ekstremisme serta terorisme. Tentu ideologi sangat membahayakan perempuan di tengah-tengah informasi yang semakin mudah diakses secara bebas, serta rentan dialami oleh perempuan sebagai korban. Apalagi, para jihadis perempuan yang juga turut andil melakukan pengeboman secara terbuka memberikan isyarat bahwa perempuan menjadi ancaman terhadap Indonesia.
Keberadaan KUPI yang hadir untuk meneguh peran perempuan agar ideologi kekerasan ini tidak semakin menyebar adalah suatu kebermanfaatan yang mutlak. Dari sinilah kita memahami bahwa, baik KUPI atau kongres perempuan Indonesia yang dalam pidatonya disampaikan oleh Sitti Soendari merupakan forum yang menguatkan peran perempuan untuk saling bekerjasama dalam memperkuat nasionalisme dan menjaga Indonesia dari berbagai ancaman.