29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Pencegahan Radikalisme melalui Pendidikan Aswaja

Fenomena radikalisme agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain. Sepakat dengan Yusuf al-Qardawi yang mengistilahkan radikalisme dengan istilah al-Tatarruf al-Dini. Yakni, mempraktikan ajaran agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Biasanya adalah sisi berat, memberatkan dan berlebihan.

Hal ini yang akan menimbulkan sikap keras dan kaku. Dilanjutkan oleh Qardawi bahwasanya ada tiga kelemahan dari perilaku berlebihan yang tidak sewajarnya ini. Pertama, tidak disukai tabiat kewajaran manusia. Kedua, tidak bisa berumur panjang. Ketiga, rentan mendatangkan pelanggaran atas hak orang lain.

Radikalisme atas nama agama sejatinya sudah menjadi musuh kita bersama, bahkan hampir semua bangsa di dunia. Tak terkecuali di Indonesia, fenomena radikalisme agama menjadi semakin marak dalam beberapa tahun akhir. Bahkan berujung pada terorisme. Beberapa studi tentang gerakan radikal turut menyatakan bahwa kelompok radikal tidaklah tunggal. Ada beragam gerakan dalam komunitas Islam radikal yang masing-masing memiliki visi, tujuan, orientasi dan arah gerakan dengan cara-cara ekstrem pada tahap tertentu.

Bagaimana Pembiasaan Pendidikan Aswaja sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme ?
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai paham ahl sunah wal jamaah (Aswaja). Adapun Ahlusunnah Wal Jamaah, secara bahasa ahlun artinya keluarga, golongan atau pengikut. Sehingga Ahlusunnah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW). Adapun al jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan.

Dalam Qonun Asasi li Jam’iyati Nahdhat al-Ulama’i yang dikemukaan oleh Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari bahwa definisi Ahlussunnah wal Jamaa’ah secara khusus adalah golongan atau pengikut madzhab yang dalam akidah mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bidang ubudiyah (praktik peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad as-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Adapun dalam bertashawuf mengikuti salah satu dari dua imam, yaitu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

Ajaran aswaja memiliki potensi untuk menjadi sarana membangun pemahaman Islam yang inklusif dan moderat. Selain itu, aswaja juga sebagai modal penting untuk bersikap kritis dalam menghadapi dinamika sosial keagamaan yang semakin kompleks, sehingga bisa tertanam sebagai pengetahuan, pemahaman, sikap dalam suatu watak dasar ajaran aswaja. Berikut watak aswaja :

Pertama, tawassuth artinya jalan tengah atau moderat. Dalam hal ini kita harus selalu berusaha menempatkan diri pada posisi tengah-tengah atau moderat serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem), baik ekstrem kiri maupun kanan. Hal ini juga penting untuk menghindari fanatisme buta yang kemudian menjerumus pada ekstremisme.

Kedua, i’tidal yaitu sikap yang berkaitan erat dengan sikap tawasuth. I’tidal artinya tegak lurus atau adil. Menurut KH. Dr. As’ad Said Ali dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal. Keduanya menggunakan dengan tiga pendekatan yaitu fiqh al-ahkam, fiqh al-da’wah, dan fiqh al-siyasah.

Ketiga, tawazun artinya seimbang. Hal ini berarti setiap kita hendak menyikapi sesuatu harus berusaha bersikap arif dengan mempertimbangkan sebab dan akibat dari keputusan yang akan diambil. Seimbang di sini juga bermakna harmonisasi dalil aqli dan naqli. Keseimbangan juga tak luput dalam ranah sosio-politik, dengan mengaktualisasikan serta mendukung kebijakan pemerintah dengan tetap kritis jika menemukan ketidakadilan.

Keempat, tasamuh adalah sikap toleran, menghargai, tepa slira. Sikap ini sangat mempengaruhi cara pandang terhadap suatu masalah dengan menempatkan keberagaman sebagai suatu keniscayaan untuk dihargai. Toleran ini berarti sikap menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda dalam meneguhkan apa yang diyakini.

Melalui pendidikan, NU telah melakukan upaya yang nyata yaitu dengan mengembangkan pendidikan Aswaja pada seluruh tingkatan. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mata pelajaran Aswaja adalah pelajaran wajib bagi seluruh lembaga pendidikan NU dengan harapan dapat membendung dan meng-counter berbagai paham radikal terutama dikalangan pelajar.

TERBARU

Konten Terkait