32.4 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Mengenalkan Fathul Kutub Di Pondok Pesantren Al-Iman Ponorogo (1)

Bersamaan dengan semakin tingginya gerakan radikalisme dan ekstrimisme, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tak luput dari berbagai stigmatisasi. Pesantren dianggap sebagai pembibit benih-benih pemikiran radikal. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis 198 pesantren yang terindikasi berafiliasi dengan kelompok jaringan terorisme. Sebanyak 11 pondok pesantren terafiliasi Anshorut Khilafah (JAK), 68 pondok pesantren terafiliasi jaringan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan al-Qaeda, dan 119 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan ISIS

Data BNPT tersebut mendapat berbagai penolakan salah satunya oleh Menteri Agama Yaqut Qalil. Begitupula dengan MUI juga menolak dengan tegas data yang disampaikan oleh BNPT tersebut. Kedua lembaga otoritas keagamaan tersebut menyatakan bahwa tak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme. Hal ini diperkuat dengan berbagai penelitian yang menjelaskan sejarah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang beradaptasi dengan modernitas, isu kekinian termasuk didalamnya isu moderasi beragama. Bahkan pesantren secara aktif terbukti berhasil melakukan indoktrinasi melalui system pembelajarannya. Dengan berbagai hasil penelitian tersebut, menurut Yaqut Qalil dan MUI, mustahil pesantren mengajarkan radikalisme.

Berangkat dari pentingnya menghalau sikap eksklusifisme dalam beragama dan menghindari fanatisme dalam bermazhab, pondok pesantren al-Iman secara aktif menjalankan program yang bertujuan untuk mengenalkan keberagamaan pendapat dalam beragama. Salah satunya melalui program Fathul Kutub yang wajib diikuti oleh seluruh santri kelas 6 KMI (setara kelas 3 aliyah) baik putra maupun putri. Program ini sengaja dilakukan di kelas akhir pondok pesantren al-Iman, sebagai bekal para santri terjun dalam berdakwah di masyarakat

Program Fathul Kutub Di Pondok Pesantren Al-Iman
Ismail Baharudin (Baharuddin 2014) membagi system pembelajaran kitab di pesantren tradisional menjadi 4 metode. Pertama, hafalan untuk mata pelajaran nadham seperti alfiyyah dan al-‘Imrithi, dan sebagainya. Santri menghafal beberapa bait dan membacakan hafalan tersebut didepan kyai. Kedua, bahtsul masail yaitu pertemuan ilmiah yang membahas permasalahan khusus yang umumnya hanya diikuti kyai dan santri tingkat tinggi. Ketiga, fathul kutub yaitu latihan membaca kitab klasik untuk menguji kemampuan membaca kitab kuning. Umumnya bertujuan untuk menguji penguasaan santri terhadap kaidah bahasa arab. Keempat, muqaranah yaitu perbandingan materi, mazhab, maupun kitab atas suatu permasalahan.

Metode sebagaimana tersebut diatas diterapkan lantaran pesantren tradisional tidak mengenal system pembagian kelas. (Haidar Putra Daulay 2001) Sehingga kemampuan seorang santri dilihat dari kitab apa yang telah dibacanya, dan metode mana yang telah diterapkannya. Namun program fathul kutub yang diterapkan di pondok pesantren al-Iman memiliki teknik yang berbeda dengan yang diterapkan di pesantren tradional. Program fathul kutub di pondok pesantren al-Iman hanya melibatkan siswa akhir kelas 6 KMI saja.

Santri diberi permasalahan kontemporer seperti moderasi beragama, gender, relasi muslim dan non muslim, toleransi beragama, LGBT, jihad, terorisme, kepemimpinan perempuan dan berbagai permasalahan lainnya. Santri diberi kebebasan untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut dari berbagai referensi kitab yang telah disediakan oleh pembimbing. Berbagai sumber referensi disediakan secara lengkap oleh pembimbing. Dari kitab kuning klasik, kitab kontemporer abad pertengahan, hingga karya tokoh pembaharu pasca abad 18. Adapun program fathul kutub yang diterapkan di pondok pesantren al-Iman dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain:

1.Seminar metodologi tafsir
Ditahap ini, seluruh santri mengikuti seminar selama 3 hari yang disampaikan oleh para kyai dan juga melibatkan alumni yang saat ini mendalami kajian tafsir. Dalam kegiatan ini, santri diberi wawasan mengenai beberapa metodologi tafsir seperti metode ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’. Penjelasan metodologi tersebut dilengkapi dengan sejarah perkembangan metodologi tafsir, dan beberapa kemungkinan lahirnya metodologi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Disela seminar, santri diberi tugas untuk melakukan penggolongan kitab-kitab berdasarkan metodologi yang digunakan. Dari seminar ini, santri diharapkan mampu memahami bagaimana corak tafsir, perbedaan metodologi, serta kelebihan dan kekurangan setiap metodologi dalam menjawab suatu fenomena. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan santri mampu memilah dan memilih jenis kitab dan metodologi yang akan digunakan untuk menganalisis suatu permasalahan.

2.Analisis permasalahan
Selama program ini berjalan, santri kelas 6 dikarantina dalam sebuah gedung yang dikelilingi oleh kitab-kitab yang dijadikan rujukan. Setelah mengikuti seminar, santri kelas 6 dibagi dalam berbagai kelompok untuk mendiskusikan problem kontemporer. Setiap kelompok diberi waktu selama 1 hari penuh untuk bergulat dengan kitab-kitab. Dalam 1 kelompok tersebut, para santri diminta untuk mencari jawaban atas problem yang diberikan pembimbing dengan menggunakan metodologi yang berbeda. Begitupula dengan kitab yang digunakan, harus menggunakan kitab yang dikarang oleh mufassir dari berbagai masa.

Di tahap ini, 1 kelompok bisa menghasilkan banyak kesimpulan berdasarkan kitab yang dijadikan rujukan. Meskipun permasalahannya sama, namun hasil yang disimpulkan bisa jadi berbeda. Dengan adanya seminar metodologi tafsir, diharapkan santri bisa melakukan analisis dan diskusi berdasarkan referensi yang kredible. Karena fakta yang saat ini terjadi, banyak perdebatan yang hanya didasarkan pada emosi yang minim ilmu dan informasi. Dengan analisis permasalahan, santri juga dibiasakan untuk melakukan diskusi dalam mengadapi perbedaan pendapat dengan kepala dingin.

TERBARU

Konten Terkait