Lembaga Pendidikan merupakan sarana paling efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai keagamaan, sosial, budaya dan nilai lainnya. Atas dasar itulah, penting bagi negara untuk mengatur sistem kurikulum yang diberlakukan di lembaga pendidikan, agar nilai yang diusung sejalan dengan nilai dasar Pancasila dan karakter bangsa Indonesia. Dengan adanya kurikulum satu atap tersebut, apapun jenis lembaga pendidikannya namun tetap mengusung identitas bangsa.
Namun, ada satu system pendidikan di Indonesia yang luput dari perhatian pemerintah yaitu system homeschooling. Pembelajaran yang fleksible dalam homeschooling sangat rentang menjadi sarana transmisi nilai radikal. Karena bersifat eksklusif, homeschooling berpotensi untuk menjauhkan anak-anak dari nilai umum sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
Tipologi homeschooling
Berdasarkan penelitian Debbie Afianty dan tim peneliti homeschooling, ditemukan dua tipologi homeschooling yang ada di Indonesia. Kedua tipologi tersebut antara lain:
Pertama, homeschooling berbasis non-agama. Homeschooling berbasis non-agama ini focus pada pengembangan minat, bakat, dan kebutuhan anak. Dalam Permendikbud no 129 tahun 2014, dijelaskan;
Homeschooling merupakan proses layanan Pendidikan yang secara sadar terencana dilakukan oleh orang tua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk, dan komunitas dimana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang secara maksimal.
Maka dalam system pembelajaran di homeschooling, seyogyanya orang tua menjadi penanggungjawab utama dalam mendidik anak-anaknya. Penerapan homeschooling non-agama ini banyak memfokuskan Pendidikan anak sesuai dengan minat dan bakat yang ada pada anak. Dimana bakat tersebut sudah diketahui oleh orang tua dan orang tua meyakini bahwa homeschooling adalah wadah terbaik untuk menyalurkan minat dan bakat tersebut.
Kedua, homeschooling berbasis agama. Baik agama Kristen maupun agama Islam memiliki homeschooling yang menempatkan pelajaran agama sebagai bagian paling utama dalam proses penyampaian materi pembelajaran. Dalam homeschooling berbasis agama Islam, dikenal dua model yaitu salafi-inklusif dan salafi-eksklusif.
Untuk salafi inklusif, peserta didik diperkenalkan dengan keragaman bahasa, suku, budaya, adat, dan agama yang ada di Indonesia. Meskipun mempelajari dasar-sadar tauhid dalam agama Islam, namun tetap terbuka dan mau bergaul dengan teman non muslim. Adapun kurikulum yang digunakan juga sesuai dengan kurikulum nasional, termasuk jenis mata pelajaran dan juga cara penyampaian materi pelajaran.
Sedangkan dalam model salafi-eksklusif, homeschooling yang diterapkan hanya focus pada kajian yang berkaitan dengan kelompok dan golongannya sendiri. Kelompok ini menganggap bahwa kelompok diluar golongannya akan berdampak buruk bagi keberlangsungan kelompoknya.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi dan ajaran sebagaimana dipahami oleh kelompoknya, homeschooling model salafi-eksklusif ini menerapkan kurikulum sendiri. Kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan kelompok, sedangkan kurikulum nasional hanya diikuti sebagai syarat ujian penyetaraan saja. Pada model inilah, nilai-nilai radikalisme rentan diinternalisasi dalam proses pembelajaran.
Negara harus bersikap tegas
Tidak adanya aturan yang tegas mengenai pelaksanaan homeschooling pada lembaga pendidikan di Indonesia, dapat dijadikan alat oleh kelompok ekstrimis. Dengan dalih menerapkan homeschooling, anak-anak dari kombatan maupun dari keluarga yang radikal akan lebih mudah dikader untuk meneruskan ideologi tersebut. Karena longgarnya pengawasan dari negara inipula, maka nilai nasionalisme juga semakin menjauh dari pemahaman anak-anak yang tumbuh dan berkembang dikeluarga dengan pemahaman radikal.
Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk bersinergi dengan dinas Pendidikan di tingkat kota/kabupaten. Kedekatan geografis di wilayah kota atau kabupaten dapat memantau proses pembelajaran yang diterapkan di homeschooling. Sekaligus untuk memastikan bahwa nilai nasionalisme telah disampaikan dalam setiap penyampaian mata pelajaran. Tak hanya itu, perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi dari proses pelaksanaan homeschooling oleh dinas terkait.
Selain itu, pemerintah juga perlu untuk melakukan pendataan ulang keberadaan homeschooling di setiap wilayah kota dan kabupaten. Jika homeschooling tidak masuk didata, bisa diberikan sanksi untuk tidak bisa mengikuti ujian paket. Tidak adanya sanksi yang tegas bagi mereka yang mengadakan homeschooling secara bebas ini akan memberikan banyak dampak negative kedepannya. Salah satunya adalah kemudahan untuk menyebaran ideologi radikal bagi anak-anak penerus bangsa.