29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Menyoal Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme

Awal tahun 2021 menjadi masa kelam yang tak akan terlupakan bagi kita semua. Dua kasus terorisme terjadi bersamaan dengan kekacauan negara dalam menghadapi pandemic covid-19. Pengeboman tersebut terjadi di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Makassar dan Mabes Polri Jakarta. Lebih mengagetkan lagi, kedua pelaku pengeboman melibatkan perempuan.

Pengeboman di Makassar terjadi di gereja katedral Makassar, dan dilakukan oleh pasangan suami istri. Adapun peristiwa yang terjadi di Mabes Polri Jakarta, dilakukan oleh perempuan seorang diri atau yang disebut dengan lone wolf. Masifnya keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme ini menarik untuk dikaji. Terutama berkaitan dengan alasan apa yang mendorong perempuan menjadi bomber bahkan pelaku tunggal.

Alasan kenapa perempuan menjadi bomber
Ruby Kholifah, direktur AMAN Indonesia memberikan beberapa analisis berkaitan dengan alasan kenapa perempuan menjadi bomber. Adapun beberapa alasan tersebut antara lain:

Pertama, membuktikan eksistensi sebagai bagian dari “jihadis”. Dalam dunia terorisme, juga dikenal diskriminasi berbasis gender. Narasi yang berkembang diantara mereka adalah bahwa jihad laki-laki memiliki nilai lebih tinggi dibanding perempuan. Hal ini lantaran laki-laki banyak mengambil peran sebagai bomber dibanding perempuan yang hanya berperan sebagai support system. Oleh karena itu, demi mendapatkan nilai jihad yang sebanding dengan laki-laki, perempuan rela menjadi bomber.

Kedua, mendapatkan pengaruh dari keluarga. Doktrin ketaatan mutlak istri atas suami, dan ajaran ridho Allah terletak pada ridho suami adalah nilai pertama yang diinternalisasi oleh istri yang menikah dengan “mujahidin”. Karena petunjuk suami adalah manifestasi dari perintah Allah, maka seorang istri akan menuruti perintah suami tanpa tapi. Lingkungan keluarga yang seperti ini biasanya diawali dengan pernikahan atas dasar perjodohan yang tak bisa dihindari oleh perempuan.

Ketiga, penyebaran informasi melalui social media. Tren penyebaran ideologi radikal telah mengalami perkembangan yang signifikan. Muncul istilah “from backyard to diningroom” menunjukkan bahwa ideologi radikal juga berkembang di lingkungan yang senyap. Tafsir agama yang tekstual memenuhi laman social media, naasnya narasi tersebut sampai kepada kelompok yang minim literasi. Sehingga ideologi radikal lebih mudah tersebar dan mudah diterima oleh masyarakat awam yang melihat kebenaran dari satu perspektif saja.

Hal ini diperparah dengan banyaknya cerita romantisasi kombatan perempuan yang diproduksi oleh ISIS. Sehingga banyak pihak yang umumnya adalah mereka yang mengalami diskriminasi gender (buruh migran, perceraian, pelaku kawin sirri) tertarik untuk terlibat dengan tujuan sebagai penebus dosa.

Keempat, Kebijakan RAN PE dan PUG belum kuat. Negara kita telah memiliki SK PUG (Pengarusutamaan Gender) yang harus menjadi ruh aktifitas seluruh lembaga negara. Namun sayangnya, negara masih lemah dalam hal pencegahan (preventif). Negara masih menggunakan pendekatan penanganan atau eksekusi kasus per kasus yang terjadi.

Meskipun banyak perempuan yang terlibat, namun negara masih memfokuskan penanganan dengan membatasi mobilitas teroris laki-laki. Hal ini dijadikan peluang bagi kelompok teroris untuk menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku. Mereka menganggap perempuan dan anak-anak memiliki tingkat mobilitas yang lebih fkelsible dibanding dengan laki-laki.

Kelima, perubahan tren keluarga teroris dari jihad tandim ke fardiyah. Diawal kemunculannya, keluarga teroris melakukan gerakan dibawah intruksi seorang pemimpin atau yang disebut dengan jihad tandim. Artinya, tanpa adanya intruksi dan arahan dari pimpinan, meraka tidak akan berani mengambil keputusan untuk berjihad.

Dalam perkembanganya, jihad tandim ini lebih mudah terdeteksi karena memiliki perangkat jaringan yang relative sama antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, berkembanglah istilah jihad fardiyah yang artinya setiap individu memiliki kewajiban untuk berjihad. Sehingga para individu yang telah terpengaruh ideologi radikal bebas melancarkan aksinya sesuai dengan keyakinan pada dirinya meskipun tanpa arahan dari pimpinan.

Karena bersifat parsial, maka gerakannya sulit untuk terdeteksi. Di satu sisi mereka memiliki konektifitas idiologi yang siap melancarkan aksi jika mereka yakin bisa melakukan di waktu dan tempat yang tepat. Dalam keadaan inipula, laki-laki beranggapan bahwa perempuan bisa dimanfaatkan untuk mengelabuhi actor keamanan. Atas dasar itulah, bomber perempuan diyakini memiliki potensi sukses lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.

Demikianlah analisis mengenai alasan kenapa perempuan terlibat dalam kelompom ekstrimis bahkan menjadi bomber. Dengan mengetahui alasan sebagaimana tersebut diatas, bisa dijadikan landasan bagi negara untuk menyusun strategi pencegahan aksi terorisme. Terutama pencegahan bagi perempuan dan anak yang pada dasarnya adalah korban dari kebijakan yang disepakati oleh golongan radikal.

TERBARU

Konten Terkait