Maret 2022, seorang Napiter (narapidana terorisme) berinisial A dikabarkan telah selesei menjalankan hukuman penjara selama 5,5 tahun di lapas perempuan Malang. Pulang dengan dijemput oleh suaminya, napiter A tersebut mengaku menolak ikrar setia pada NKRI. Meskipun demikian, karena telah selesei menjalani hukuman penjara, dan napiter tersebut berkelakuan baik selama di Lapas, maka kepala kanwil Kemenkumham Jatim membebaskan napiter A.
Lain halnya dengan Dian Yulia Novi (2018), napiter perempuan pertama di Indonesia tersebut justru menebarkan ideologi ekstrimis kepada para pendamping lapas dan pada napi lainnya. Hal ini diungkapkan oleh Suci Winarsih, yang berlaku sebagai pamong atau pendamping Dian Yulia selama menjalani hukuman di Lapas Bandung. Bahkan dirinya sebagai pendamping kerap mendapatkan teror melalui pesan singkat whatsapp yang diduga berasal dari suami Dian Yulia.
Begitupula dengan Tutin (2018), napiter perempuan di Lapas kelas II A Tangerang. Meskipun dengan nada bercanda, dirinya kerap mengamcam napi lainnya bahwa dirinya membawa bom dan sewaktu-waktu akan meledakan bom tersebut di lapas. Karena lapas adalah markaz thogut sehingga halal dihancurkan. Meskipun disampaikan dengan guyonan, namun hal tersebut cukup membuat Nuraini Prasetyawati ketakutan. Mengingat Nuraini adalah pihak yang paling dekat dengan Tutin karena tanggungjawabnya sebagai pendamping selama di lapas.
Masih bersumber dari pendamping napiter, Dian Yulia dan Tutin juga tak segan mengancam para penjaga lapas dengan sebutan thagut dan menyatakan darahnya halal untuk dibunuh. Seolah tak memiliki rasa takut, keduanya bahkan merasa dirinya superior karena kasus yang menjerat dirinya adalah kasus penegakan syariat Islam. Sehingga para petugas lapas adalah korban target selanjutnya baik dalam penyebaran ideologi maupun dalam pemahaman narasi ekstrimis. Tak jarang mereka justru beradu mulut bahkan beradu jotos dengan petugas maupun napi lainnya demi mempertahankan ideologinya.
Dan belum lama ini, di penghujung tahun 2022 sebuah bom bunuh diri menyebabkan 10 korban luka-luka dan menewaskan satu anggota polisi. Naasnya, bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung tersebut dilakukan oleh Agus Sujatno yang merupakan eks napiter. Ia pernah ditahan di Lapas kelas II A Pasir Putih Nusa Kambangan dengan menjalani hukuman penjacar 4 tahun. Namun setelah setahun dibebaskan oada Maret 2021, ia kembali melakukan aksi terror.
Napiter perlu ditempatkan di ruang isolasi
Regulasi menganai penanganan napiter diatur dalam undang-undang terorisme pada 2018. Sedangkan aturan mengenai pendamping napiter diatur dalam Undang-undang pemasyarakatan pada 2019. aturan tersebut disampaikan oleh Dr. Sri Puguh Budi Utami, Kepala Balitbang Hukum dan HAM, Kemenkumham dalam WGWC Talk ke 7 pada 27 Agustus 2020.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa krang mkasimalnya pendampingan terhadap napiter dikarenakan lapas mengalami over kapasitas. Napi di Indonesia jumlahnya mencapai 271.209 orang, atau setara 106 persen dari kapasitas ruang tahanan. Sedangkan jumlah pendamping sangat terbatas. Apalagi untuk pendamping napiter yang memang membutuhkan skill dan pendekatan khusus.
Di acara yang sama, Rifana Meika dari peneliti Yayasan Prasasi Perdamaian membenarkan pernyataan Dr. Sri Puguh. Lebih lanjut, Rifana menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah napiter di awal 2017 lalu disebabkan oleh adanya kelompok teroris internasional yang mengumumkan bahwa perempuan wajib ikut mengangkat senjata bahkan ikut berjihad. Sehingga berpengaruh pada kelompok pro ISIS yang ada di Indonesia. Karena memang napiter yang ada di Lapas Indonesia ini didominasi oleh kelompok pro-ISIS.
Menurutnya, napiter di lapas bebas menyebarkan ideologi ekstrimis lantaran mereka dicampur dengan napi lainnya. Sedangkan pengawasan dari petugas sangat minim lantaran jumlahnya yang tidak proporsional. Maka para napiter butuh ruang isolasi, sehingga para napiter tidak dibiarkan berbaur dengan napi lainnya terlebih dahulu. Mereka baru bisa dicampur dengan napi lainnya ketika BNPT sudah mendapatkan laporan dari pendamping bahwa ideologi ekstrimis para napiter telah tereduksi.
Jika tidak ada perlakuan khusus bagi napiter, maka kasus sebagaimana teoris A di Malang, kasus Dian Yulia, dan Tutin, dan Bom bunuh diri di Bandung akan terus berulang di lapas napiter. Penanganan napiter seharusnya tidak hanya terpaku pada bagaimana mereka menjalani hukuman. Karena yang perlu difokuskan adalah bagaimana agar eks napiter benar-benar terbebas dari ideologi radikal. Jika ideologi tersebut masih terus ada dalam jiwa naiter, selama apapun menjalani hukuman penjara tidak bisa menjauhkan mereka dari keinginan untuk menjadi bomber lagi.