Saya masih ingat tentang cerita yang disampaikan oleh Mukhtar Khairi, salah satu eks terorisme yang sudah hijrah dan memilih untuk berikrar kepada Pancasila dan NKRI. Saya bertemu dengan Muktar melalui forum online yang diselenggarakan oleh Indika Foundation, pada kegiatan Narasi Toleransi yang dilaksanakan pada awal bulan Desember ini. Mukhtar menyampaikan bahwa, napiter perempuan mengalami proses hidup yang sangat berat. Hal ini dengan melihat sebuah contoh bahwa ketika seorang perempuan ingin berikrar kepada NKRI, alasan yang menyebabkan ia mengurungkan niatnya adalah, sang suami mengancam, apabila berikrar kepada NKRI dan Pancasila maka akan diceraikannya.
Saya yang mendengarkan penjelasan tersebut, merasa sangat klise bahkan tidak masuk akal apabila masih ada perempuan yang takut janda dan sengsara hidupnya dengan orang yang sudah jelas-jelas menyimpang dari agama. Nyatanya, ini bukanlah hal sepele bagi setiap perempuan yang sudah menikah. Jika dibandingkan dengan kasus lain misalnya. Berapa banyak perempuan yang sudah menikah dan mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, ataupun suaminya tidak bertanggung jawab akan tetapi tidak memilih untuk berpisah lantaran ia tidak memiliki kemandirian untuk menghidupi diri sendiri ataupun seluruh anggota keluarganya?
Napiter perempuan mengalami kekerasan yang sangat kompleks. hal ini dikarenakan berbagai faktor, mulai dari kemiskinan, pengetahuan yang rendah, hingga dogma yang membelenggu. Sejauh ini kalau kita melihat perempuan-perempuan yang ada di lingkaran terorisme seperti: Munfiatun, istri Noordin Top. Ia terlibat dalam kasus terorisme dengan menyembutikan suaminya dan Azhari Husin di empat lokasi yang berbeda selama 6 minggu. Ada pula Putri Munawwaroh, istri Susilo, pengikuti Noordin M. Top yang juga terlibat aktif dalam kesuksesan suaminya bergabung dalam lingkaran setan. Hampir semua perempuan yang sudah menikah, kemudian terlibat dalam terorisme, dipastikan berasal dari sang suami.
Hal ini karena ajakan sang suami kepada para istri, menjadi kalimat Tuhan yang tidak bisa ditolak ataupun wajib dilaksanakan sebagai istri, sebagaimana dogma yang diyakini. Padahal, jika seorang perempuan memahami betul bagaimana relasi manusia denga manusia, khususnya laki-laki dan suami, segala ajakan untuk bertindak mencelakai manusia lain, khususnya membunuh, tidak akan diikuti oleh sang istri karena sudah melanggar agama. Namun, persoalan terorisme tidak hanya sebatas pemahaman tersebut. Akan tetapi, ia persoalan ideologi yang sudah mengakar pada setiap orang, memiliki regenerasi yang tersistem dan memiliki jejaring yang luas baik lokal, nasional, hingga internasional.
Napiter perempuan ketika diancam untuk diceraikan, maka yang ada dipikirannya adalah, apa yang akan dilakukan dirinya pasca bercerai? Bagaimana cara dia bertahan hidup sedangkan masyarakat akan memberikan label negatif kepada dirinya dan seluruh anggota keluarganya? Bagaimana agama menjawab tentang kepatuhan dirinya kepada sang suami, sedangkan pernikahan yang dilakukan adalah ridho Allah.
Pertanyaan yang membelenggu semacam itu merupakan sikap dilematis yang dimiliki oleh napiter perempuan.
Beban berlibat menjadi perempuan, ketika dihadapkan dengan pilihan antara suami atau patuh kepada NKRI dan Pancasila, mereka akan memiliki suami. Sebab dogma yang sudah diyakini adalah suara suami adalah suara Tuhan yang harus dipatuhi. Padahal, pemikiran semacam itu adalah sebuah kebodohan yang hakiki milik perempuan yang tidak merdeka. Dengan melihat fenomena yang struktural dan sudah tersistem ini, maka, pertama, penting bagi seorang perempuan untuk membangun kemandirian secara personal.
Mandiri secara pengetahuan, berarti seorang perempuan harus memiliki pengetahuan, baik pengetahuan umum ataupun pengetahuan agama supaya tidak dibodohkan oleh orang-orang yang menggunakan dalil agama sebagai alat mendiskriminasi ataupun menguasai kehidupan perempuan. Kedua, perempuan harus mandiri secara ekonomi, karena kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dirinya baik secara sekunder, primer dan tersier akan menciptakan seorang perempuan tidak menggantukan kehidupannya kepada orang lain.
Sebab menggantukan hidup kepada orang lain ataupun kepada laki-laki, sama halnya kita bersiap untuk terjun dalam jurang yang akan menyengsarakan kehidupan. Dengan demikian, apabila perempuan memiliki kemandirian ekonomi, ia akan siap untuk struggle dalam kondisi apapun. Ketiga, perempuan harus memiliki literasi digital yang mumpuni. Di tengah arus informasi yang semakin tidak terbendung. Seorang perempuan harus memiliki kemampuan literasi digital agar tidak mengkonsumsi narasi-narasi propaganda yang disebarkan oleh para teroris. Dengan demikian, upaya ini sangat bisa kita upayakan sebagai perempuan yang mampu berdaya dan terhindari dari lingkaran terorisme. Wallahu a’lam