“The Internet is the first thing that humanity has built that humanity doesn’t understand, the largest experiment in anarchy that we have ever had”
Pernyataan Eric Schmidt tadi terkait fenomena internet di era digital mengemukakan gambaran nyata bahwa sejatinya kita dihadapkan pada dua sisi mata uang perihal arus informasi yang serba cepat di zaman internet. Dari segi kecepatan berita, manusia masa kini jauh lebih update untuk mengetahui perkembangan dunia. Namun, di sisi lain, kecepatan informasi juga membawa efek domino lain yang tidak kalah mengkhawatirkan, yakni memicu orang berlomba-lomba untuk menulis flash news atau artikel clickbait dengan hanya sedikit memperhatikan validasi fakta dan data yang ditulis demi tercapainya engagement audiens yang tinggi.

Fenomena banyaknya berita palsu yang beredar di masyarakat mendorong timbulnya banyak efek negatif, termasuk membentuk istilah era post truth, waktu di mana fakta objektif justru kurang berpengaruh terhadap opini publik dibandingkan hoax. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat sekarang pun sulit membedakan mana yang memang terjadi, mana yang hanya sebatas rumor belaka.
Menilik dinamika berita palsu yang beredar secara masif, Wardle (2018) mengklasifikasikan hoax dengan melihat apa saja jenis konten yang dibuat dan dibagikan, motivasi pembuat konten tersebut, dan bagaimana cara konten itu disebarluaskan. Secara rinci, ia membedakan tujuh jenis berita bohong, yaitu: sindiran atau parodi, konten menyesatkan untuk mendiskreditkan suatu pihak atau isu tertentu, konten imposter yang menduplikasi dari sumber asli, konten fabrikasi yang sengaja dibuat untuk menyebarkan informasi yang salah, berita dengan koneksi palsu dimana narasi berita dengan judul atau gambar pendukung tidak berhubungan sama sekali, informasi dengan konteks palsu, dan konten yang dimanipulasi.
Bagaimana Hoax Memicu Ekstremisme
Lebih lanjut, tujuh jenis berita bohong tadi kemudian kerap kali digunakan pihak tertentu untuk menyebarkan propaganda dan kampanye yang menarik emosi publik. Hal ini terbukti dari riset skala kecil yang diadakan di Eropa pada bulan Desember 2016 lalu. Penelitian yang mendalami 49 artikel berita palsu tersebut menemukan bahwa ternyata hoaks tidak hanya mengandung disinformasi semata, tapi juga menyisipkan kampanye negatif dan ujaran kebencian kepada kelompok-kelompok minoritas.
Di kawasan Eropa, berita-berita palsu tadi beredar luas di media sosial seperti Facebook. Sebagian besar postingan sendiri banyak menyinggung tentang kelompok pengungsi dan imigran. Mereka sering dikaitkan dengan kelompok teroris dan penyerobot pekerjaan orang-orang lokal. Perspektif berita itu kemudian secara tidak langsung memunculkan sentimen negatif kepada golongan minoritas di sana. Sebelas-dua belas dengan yang terjadi di benua biru, di Indonesia berita palsu juga kerap mengambil sudut sempit terkait kondisi minoritas.
Bedanya, hoaks yang disebarkan lebih sering mengatasnamakan ajaran agama atau merujuk pada tokoh publik yang dihormati. Bahkan sumber berita palsu bertopeng agama yang ada di Nusantara, bukan cuma berasal dari negeri sendiri, tapi ada juga yang diimpor dari kelompok radikal internasional, seperti ISIS. Mirisnya kelompok ekstremis tersebut mentargetkan generasi muda untuk melakukan kaderisasi. Mereka sengaja memanfaatkan media sosial hingga platform game untuk menyebarkan propaganda mereka. Strategi kampanye mereka melalui kedua platform tadi bukan tanpa dasar.
Ditilik dari survei Kominfo, persentase terbesar (75,95%) kepemilikan ponsel pintar yang digunakan untuk berselancar pada media sosial jatuh pada kalangan usia 20-29 tahun. Sehingga kelompok usia ini menjadi incaran utama kelompok radikal untuk menggalakkan propagandanya. Untuk konten yang disebarkan biasanya mengacu pada gambar dan visualisasi negatif umat Islam yang terpuruk karena perbuatan negara-negara barat. Selanjutnya mereka kerap mewanti-wanti agar komunitas Muslim di Indonesia terus waspada kepada antek dan propaganda asing, sebab penderitaan umat di Timur Tengah dan Afrika bisa jadi akan menular ke bumi pertiwi.
Dalam konten lainnya, dikotomi yang dimunculkan dalam berita palsu adalah “kita” dan “mereka”.
Klasifikasi ini sengaja dibuat untuk melihat bahwa ada jurang perbedaan besar antara umat muslim dengan non-muslim. Sehingga, mereka yang berbeda akan dilihat sebagai ancaman dan pesaing, oleh karena itu wajar dan normal untuk dimusuhi. Bila konten sejenis terus dikonsumsi, tanpa adanya filter dan lingkaran sosial yang bisa meluruskan, bukan tidak mungkin individu yang melahap alur deras informasi ini akan tercuci otak, dan pada tingkat fatalnya, ia bisa melancarkan tindakan teror sebagai manifestasi.
Oleh karena semakin drastisnya jumlah berita palsu dan konten propaganda negatif yang tersirkulasi di media kita, peningkatan literasi dan daya kritis warga tentu perlu terus ditajamkan. Selain untuk memperkuat mekanisme perlindungan masyarakat terhadap konten berbahaya, hal ini akan mendorong warga untuk lebih cerdas dalam menyaring informasi dan selanjutnya dapat bahu-membahu melawan narasi ekstremis dengan akun media sosial yang mereka punya.