Rabu pagi, tanggal 07 Desember lalu mengubah suasana Bandung yang tenang menjadi mencekam. Sebuah bom bunuh diri meledak di Mapolsek Astana Anyar hingga menyebabkan seorang anggota polisi meninggal dunia dan sepuluh petugas lainnya luka-luka. Beberapa saksi yang berada di dekat lokasi kejadian menuturkan bahwa peristiwa bom bunuh diri tersebut sempat dikira ledakan ban motor biasa. Sehingga, masyarakat kurang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, hingga kemudian dari pihak kepolisian dengan cekatan mengamankan lokasi.
Yang mencengangkan, pelaku ternyata bukan orang baru di jaringan terorisme. Tersangka merupakan bagian dari jaringan kelompok radikal yang pernah melakukan aksi serupa, yakni meledakkan bom panci di Cicendo, Bandung pada tahun 2017. Usai ditahan, pelaku bahkan sempat mengikuti program deradikalisasi. Namun sayangnya usai program berakhir, pemahaman keliru yang ia anut, tidak banyak berubah, hingga ia lalu melakukan aksi terornya kembali.
Implementasi Program Deradikalisasi
Peristiwa bom bunuh diri di Astana Anyar bak menjadi tamparan kepada pihak penanggungjawab program deradikalisasi di tanah air. Bagaimana tidak, anggaran program deradikalisasi juga cukup besar, yakni mencapai 1,5 triliun rupiah, namun nyatanya belum efektif dalam menangkal paham ekstremisme. Terlebih ketika ditelusuri lebih lanjut, ternyata pelaku bom bunuh diri, Agus Sujanto alias Abu Muslim selama mendekam di Nusa Kambangan, menolak berbicara kepada pihak keamanan, termasuk kepada anggota Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT). Sehingga program deradikalisasi tidak berjalan maksimal. Penolakan Agus membuatnya tak mendapatkan pengawasan maksimal hingga ia kemudian keluar dari sel tahanan.
Program deradikalisasi, ketika dikonfirmasi kepada pihak BNPT, merupakan program sukarela alias tidak perlu diikuti. Kecuali narapidana terorisme (napiter) ingin mengajukan pembebasan bersyarat, maka ia wajib ikut program deradikalisasi. Oleh karenanya, kita bisa memastikan bahwa penolakan Agus untuk berbicara kepada sipir dan staf BNPT ada dasarnya karena ia tak mengajukan bebas bersyarat. Selain itu, ia juga mendekam di sel tahanan dengan tingkat pengamanan tinggi sehingga selama ia mendekam di penjara, proses deradikalisasi kurang berjalan lancar.
Tidak hanya berkaitan dengan pelaksanaan deradikalisasi, jika menilik lebih jauh, program deradikalisasi di Indonesia ternyata masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Selain pada kelonggaran partisipasi program, pengawasan narapidana teroris atau anggota kelompok ekstremis, amatlah minim.
Tantangan dan Problematika Deradikalisasi. Walau BNPT sudah menjadi aktor utama dalam berbagai program deradikalisasi, nyatanya sumber daya yang mereka miliki tidak sebanding dengan jumlah narapidana terorisme dan jaringannya.
Secara spesifik, staf BNPT berjumlah 600 orang yang membidangi banyak tugas termasuk administrasi, bandingkan dengan jumlah narapidana terorisme dan anggota-anggotanya yang tidak semua berada dalam sela tahanan, jumlahnya mencapai ribuan, dan itu pun tidak semua terdata secara rinci. Di saat yang sama, begitu pelaku teror telah selesai menjalani hukuman di penjara, seringkali mereka mengalami kesulitan berintegrasi dengan lingkungan sekitar karena masih dicap buruk dan dilabeli komplotan berbahaya.
Terlebih, hingga sekarang belum ada aturan jelas, siapa yang kemudian melaksanakan pembinaan dan pengawasan usai anggota kelompok ekstremis ini keluar dari penjara. Pun, ketika sudah menjalani program deradikalisasi di penjara, acap kali mereka tak sepenuhnya kembali ke NKRI. Sejumlah narapidana seperti Agus, pelaku bom bunuh diri Astana Anyar, justru menyimpan dendam kepada pihak kepolisian. Ia menganggap bahwa penegak hukum merupakan musuh Allah yang wajib diperangi. Tak heran, ia kemudian begitu nekat meledakkan diri.
Di sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap pelaku teroris juga masih menjadi problematika sendiri. Laporan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyampaikan bahwa mereka mendapati laporan perundungan anak pelaku terorisme. Padahal dalam banyak kasus, seringkali sang anak tidak tahu menahu apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Sehingga ketika mendadak dicemooh dan dijauhi oleh teman sebayanya, ia merasa dikhianati oleh orangtua dan kondisi psikologisnya menjadi terguncang.
Kondisi ini jika dibiarkan bukan hanya akan berdampak negatif pada sang anak, tapi juga memunculkan efek domino lain: menumbuhkan paham ekstremisme pada si anak tersebut. Ia bahkan bisa jadi akan memiliki dendam pada kawan sebayanya dan menganut paham ekstrem yang sebelumnya dianut orangtuanya.
Untuk menanggulangi kejadian tersebut, tentu program deradikalisasi tidak bisa hanya menyasar kepada pelaku teror saja, tapi masyarakat dan komunitas perlu disiapkan dan disosialisasikan agar tidak meminggirkan pelaku dari kehidupan sosial yang ia miliki. Terlebih, banyak pelaku teror yang akhirnya kembali ke jaringan radikalismenya karena ditolak keras oleh lingkungan sekitar, tempat ia tinggal.